Kalau kamu penggemar game RPG dengan sentuhan soulslike dan suka hal-hal yang berbau crafting, Blades of Fire mungkin jadi salah satu judul yang layak kamu pantau. Game ini datang dengan ide unik yang jarang disentuh dalam genre RPG pada umumnya—blacksmithing alias dunia pandai besi jadi elemen inti dari cerita dan gameplay-nya.
Dalam review kali ini, kita bakal ngebahas semua aspek Blades of Fire secara lengkap—dari jalan cerita , sampai sistem combat yang teknikal dan penuh pertimbangan. Belum lagi fitur tempa-menempa yang bukan sekadar gimmick, tapi benar-benar jadi nyawa game ini. Simak review kami mengenai Blades of Fire!
Jalan Cerita yang Ok
Blades of Fire menawarkan narasi fantasi gelap yang terinspirasi oleh dunia abad pertengahan klasik, tapi punya keunikan sendiri lewat fokusnya pada blacksmithing. Kita main sebagai Aran De Lira, seorang prajurit berhati dingin dengan masa lalu misterius, yang berusaha menggulingkan Ratu jahat yang mengutuk semua senjata baja jadi batu. Dengan umat manusia tak berdaya melawan pasukan sang Ratu, Aran—yang punya palu tempa ajaib—menjadi salah satu dari sedikit orang yang bisa menciptakan senjata baru untuk melawan.
Ditemani Adzo, seorang sarjana muda yang jadi pemandu sekaligus pencatat kisahnya, perjalanan Aran bukan cuma soal menyelamatkan kerajaan, tapi juga penebusan diri. Dinamika duo ini jadi salah satu highlight cerita—Aran yang serius dan muram dipadu dengan optimisme Adzo bikin cerita terasa lebih hangat dibanding fantasi gelap kebanyakan. Game ini juga nggak takut kasih humor, kayak adegan bayi tengkorak yang memandu pemain menara berhantu, mirip gaya kartun fantasi era ‘80-an.
Dunia Blades of Fire dibangun dengan apik, terinspirasi dari epik klasik kayak Excalibur dan fantasi ala Tolkien. Kutukan Ratu jadi alat narasi yang cerdas karena langsung terhubung sama gameplay—karena baja langka, setiap senjata harus ditempa, memperkuat mekanik inti game. Meski premisnya nggak benar-benar baru, eksekusinya—terutama cara lore dan gameplay saling terkait—bikin ceritanya menarik dan punya tujuan.
Combat yang Realistis dan Kompleks
Di bagian gameplay, Blades of Fire benar-benar beda dari RPG lain. Alih-alih pakai sistem Soulslike biasa (serangan ringan/berat di tombol shoulder), game ini pakai sistem input arah yang cukup banyak dan unik jika dibandingkan game RPG pada umumnya, contohnya ketika menyerang, Square untuk Serangan Kiri, Circle untuk Serangan Kanan, Triangle untuk serangan kepala, dan X untuk serangan ke badan.
Sistem ini memaksa pemain mikir taktis karena musuh punya titik lemah spesifik. Ksatria berbaju zirah mungkin cuma bisa dikalahkan lewat serangan kepala, sementara assassin geser butuh tebasan tepat. Awalnya mungkin bikin bingung, tapi begitu dikuasai, sistem ini sangat memuaskan—nggak asal button-mashing, tapi serang sesuai insting.
Nggak cuma itu, setiap senjata punya beberapa tipe serangan (slash, pierce, blunt) yang bisa ditukar di tengah pertarungan. Pedang dan tombak bisa berganti antara tebasan luas atau tusukan tepat, sementara palu menghantam dengan gaya brute force. Game juga kasih petunjuk visual kerentanan musuh lewat sorotan warna—hijau untuk kerusakan penuh, oranye untuk berkurang, merah untuk nggak mempan—bantu pemain beradaptasi cepat.
Manajemen stamina, blok, dan degradasi senjata nambah lapisan strategi. Senjata rusak seiring pemakaian, memaksa pemain memperbaiki di anvil (titik checkpoint ala bonfire) atau bikin yang baru. Risiko kehilangan senjata kalau mati (kecuali diambil kembali) bikin setiap pertarungan terasa berarti.
Lawan bos juga seru—contohnya, troll yang bisa regenerasi harus dipotong-potong dulu baru dikalahkan. Sayangnya, sistem ini nggak sempurna: kontrol dodge/block kadang kurang intuitif, dan beberapa titik lemah musuh kurang jelas. Tapi untungnya ada pengaturan kesulitan (diberi nama logam kayak Bronze dan Steel) yang bikin game tetap bisa dinikmati tanpa mengurangi tantangan.
Yang paling menyebalkannya? Senjata kamu akan mudah rusak dan butuh banyak sekaligus untuk dibawa. Durabiliy senjata bisa berkurang setiap kali kamu menebas musuh, ini juga berlaku ketika kamu tidak sengaja menghantam objek seperti pohon atau bebatuan. Ngeselin, tapi sangat realistis dan seru.
Menurut saya pribadi setelah memainkan sesi preview dan sekarang review game penuhnya, meskipun gameny unik, mekanisme ini mungkin akan terlalu kompleks bagi sebagian orang, dan membutuhkan waktu adaptasi yang sangat lama. Bayangkan, setiap bertemu dengan musuh, kamu harus memikirnya menyerang dari arah mana, harus menggunakan sisi bagian senjata yang mana, belum lagi dengan senjata yang mudah rusak yang harus dipoles setiap beberapa pukulan. Saya yang udah bermain selama kurang lebih 15 jam, masih merasa rumit dan mumet.
Eksplorasi yang Kadang Membingungkan
Menurut saya eksplorasi di game ini cukup mirip dengan game soulslike pada umumnya. Dimana kamu akan menemukan Forger’s Anvil (bonfire seperti di game Dark Souls). Ini memungkin kamu untuk pindah ke Blacksmith untuk Menempa senjata. Atau melakukan Fast Travel ke Forger’s Anvil lainnya yang sudah kamu temukan di map ketika eksplorasi. Atau ya seperti biasa untuk Rest dan replenish potion.
Sepanjang eksplorasi, kamu bisa menemukan sebuah patung yang memberikan resource untuk menempa barang seperti Steel atau Timber, biasanya akan menawarkan kualitas yang bagus untuk memberikan hasil tempaan yang lebih bagus. Berbagai sumber daya untuk menempa sangat gampang didapatkan lewat membasmi musuh, atau menemukan treasure ditempat-tempat tersembunyi.
Kekurangan terbesar dari eksplorasnya menurut saya adalah minimnya petunjuk arah dan terkadang tidak tau mau kemana objektif utamanya. Saya beberapa sempat stuck karena tidak ada arah yang jelas, atau jalan-jalan yang terlihat “samar”. Menurut saya ini terkadang bisa membuat frustasi.
Dipastikan Grinding
Seperti yang saya sebutkan diatas, para pemain bisa melawan berbagai monster untuk mendapatkan sumber daya untuk menempa senjata. Karena kamu membutuhkan banyak senjata, dan setiap crafting senjata membutuhkan banyak sumber daya, makanya jangan heran kalau kamu akan dituntut untuk terus grinding melawan musuh. Saya terkadang sengaja rest di Forger’s Anvil agar musuh respawn kembali dan mencari banyak sumber daya.
Meski begitu, meski terasa grinding banget, untungnya mereka punya sistem yang memaksa itu tetapi tetap berasa rewarding. Ini karena setiap melawan jenis monster tertentu, kamu akan mendapatkan sebuah Blueprint senjata. Misalnya saya melawan musuh goblin yang menggunakan greatsword, saya bisa mendapatkan dan bisa membuat senjata tersebut ketika sudah mengahkan 60 goblin tersebut. Jadi, meski terasa grinding, akhirnya akan terasa rewarding.
Untuk karakter sendiri sebenernya hanya memiliki skill tree yang simpel, tidak ada sistem stats yang rumit disini. Pemain hanya bisa meningkatkan maksimal Health, Stamina, atau Potion yang dibawa menggunakan resource yang biasanya didapatkan ketika menemukan treasure box tertentu ketika eksplorasi.
Tempa Menempa Senjata Gak Pernah Se-Seru Ini
Forge (tempat tempa) adalah fitur paling inovatif di Blades of Fire atau bisa dibilang emang nilai jual utamanya. Di sini, crafting senjata bukan cuma lewat menu, tapi jadi mini-game seru:
- Pilih Blueprint – Desain dasar (pedang, kapak, tombak, dll.) dan alokasi material ke bagian-bagian senjata (bilah, gagang, pommel). Ukuran bilah, gagang ini bisa mempengaruhi stamina yang digunakan atau damage dan speed.
- Pilih Material – Baja, kayu, atau komponen magis memengaruhi stat. Bilah tahan lama mungkin mengurangi kecepatan, sementara senjata ringan lebih cepat rusak. Saya cukup menyukai detailnya disini. Semakin bagus materialnya dan langka, makan semakin bagus hasil tempaanya.
- Mini-Game Tempa – Pemain bentuk logam cair dengan pukulan palu ber-timing. Semakin mirip dengan blueprint, dapat “bintang” yang menentukan berapa kali senjata bisa diperbaiki sebelum hancur permanen.
Sistem ini beneran unik—nggak cuma bikin pedang biasa, tapi kita bisa atur panjang, ketajaman, gagang, dan itu semua pengaruhi kecepatan serang, damage, dan stat lain. Proses menempa terasa rewarding dan memuaskan, beneran bikin kita kayak pandai besi beneran. Ini sesuatu yang tidak kami temukan di game RPG pada umumnya yang cuma sekedar crafting aja.
Tapi, prosesnya lama. Awalnya seru, tapi bisa bikin jenuh di playthrough yang mungkin akan memakan waktu belasan atau bahkan puluhan jam dengan berbagai grinding yang ada. Untungnya ada sistem Forge Memory yang bisa nyimpen desain terbaik buat dipakai lagi (tapi harus punya sumber daya bahannya juga), mengurangi grind yang mungkin akan membuatmu jenuh.
Visual Klasik Memukau dengan Animasi dan Performa yang Kaku
Art direction-nya balance antara fantasi gelap dan gaya kartun yang ekspresif. Desain karakter detail tapi berlebihan—wajah penuh luka Aran dan ekspresi Adzo bikin mereka berkarakter. Musuh-musuhnya variatif, dari troll raksasa sampai hantu menyeramkan. Gore-nya over-the-top, dengan potongan anggota tubuh beterbangan secara dramatis, tapi juga tidak berlebihan.
Lingkungannya juga kaya—mulai dari hutan berkabut sampai kastil gotik. Detil kecil kayak binatang liar yang kabur saat Aran mendekat bikin dunia terasa hidup. Efek pencahayaan dan partikel (terutama saat menempa) bikin suasana makin sinematik. Soundtrack-nya paduan orkestra megah dan melodi folk yang epik juga mendukung visual yang menurut saya clean dan smooth ini.
Kekurangan pada bagian visualnya menurut kami hanya di animasi karakter yang terasa kaku saja jika dibandingkan game-game modern. Rasanya seperti memainkan sebuah game RPG old-school ditahun 2013 kebawah. Facian animations kaku, gerakan dan combat juga terasa clunky terlepas dari kombatnya yang cukup realistis dari segi input.
Dari segi performa dan optimalisasi sebenernya sedikit kurang memuaskan. Untuk sebuah game yang memiliki animasi kaku dan visual yang sekedar bagus (tapi tidak istimewa), cukup berat. Saya main di PC pakai Ryzen 5 3600 dan Radeon RX 6800 16GB. Untuk memainkan settingan maksimal di resolusi 1400p masa harus menggunakan AMD FSR dan belum bisa gapai 60 FPS. Akan saya anggap optimal jika bisa mendapatkan 60 FPS tanpa mengguanakn fitur upscaling.
Kesimpulan
Blades of Fire menantang dengan sistem combat berbasis arah dan manajemen senjata yang detail. Pemain harus mempertimbangkan setiap serangan, tipe damage, dan daya tahan senjata—sebuah mekanik yang memuaskan tapi butuh waktu untuk dikuasai. Sistem tempa yang inovatif dan rewarding berhasil menjadi penyeimbang sebagai nilai jual utama game ini.
Sayangnya, kompleksitas ini bisa jadi bumerang bagi sebagian pemain, terutama dengan tambahan grind untuk mengumpulkan sumber daya dan degradasi senjata yang cepat. Namun, Secara visual dan atmosfer, game ini memadukan fantasi gelap dengan gaya kartun ekspresif, menciptakan dunia yang hidup dan penuh detail. Tapi, performa yang kurang optimal dan animasi yang kaku sedikit mengurangi kesan keseluruhan.
Meski begitu, Blades of Fire tetap layak dicoba bagi yang mencari RPG dengan pendekatan berbeda—khususnya bagi mereka yang menyukai tantangan strategis dengan gameplay ala soulslike dan dpidukan dengan kepuasan menciptakan senjata dari nol. Game ini mungkin tidak untuk semua orang, tapi punya identitas kuat yang sulit dilupakan karena memiliki keunikannya.
Blades of Fire akan dirilis pada 22 Mei mendatang untuk PlayStation 5, Xbox Series, dan juga PC melalui Epic Games Store. Kamu bisa kunjungi situs resminya DI SINI untuk berbagai informasi lebih lanjut.
Pastikan untuk mengikuti perkembangan berita game lainnya di Gamerwk.
@gamerwk_id
The Review
Blades Of Fire
PROS
- Sistem combat-nya beda dari yang lain
- Tempa senjata yang dalam dan memuaskan
- Dunia yang hidup, visual memukau
- Grinding terasa worth it
CONS
- Terlalu kompleks buat sebagian orang
- Eksplorasi kadang bikin frustasi
- Animasi kaku & kontrol agak kaku
- Performa kurang optimal di PC
Discussion about this post