Final Destination kembali hadir. Dan ya, rasanya seperti menyambut teman lama yang penuh kejutan. Masih dengan ciri khasnya yang ikonik: kematian datang lewat rangkaian peristiwa kecil yang tampak sepele tapi berakhir dengan tragedi brutal. Tapi kali ini, ada yang sedikit berbeda.
Masih mempertahankan “butterfly effect” yang jadi jantung seri ini, tapi nuansanya terasa lebih membumi. Kematian dalam film ini tidak lagi terasa random seperti dulu. Ada benang merah, ada latar belakang cerita yang memberi sedikit rasa logis—sekaligus bikin kita makin penasaran. Simak review kami mengenai Final Destination Bloodlines!
Cerita yang Lebih Terarah, Tapi Tetap Misterius
Film ini membuka dengan latar waktu di era 70-an atau 80-an. Sebuah prolog yang terasa seperti pembuka buku mitos tentang bagaimana sistem “kematian” dalam dunia Final Destination bekerja. Seperti biasa, dimulai dengan kejadian mengerikan—yang ternyata hanya mimpi buruk. Atau… mungkin bukan?
Karakter utama kali ini bernama Stefanie, yang mulai sering dihantui mimpi-mimpi mengerikan. Demi menyelamatkan keluarganya, ia pulang kampung, mencari jawaban dari seseorang yang mungkin memahami apa yang sebenarnya terjadi. Di sinilah cerita mulai mengalir. Atmosfernya padat dengan ketegangan. Setiap detail kecil—entah itu paku longgar, lilin, atau air menetes—terasa seperti sinyal bahaya.
Menariknya, film ini mulai menghubungkan cerita dengan logika film-film terdahulu. Tidak hanya meneruskan tradisi, tapi juga memberi semacam fondasi naratif. Penonton akhirnya diberi petunjuk kenapa “kematian” terus memburu para penyintas. Tidak dijelaskan gamblang, tapi cukup untuk membuat semuanya terasa lebih bermakna.
Kematian Masih Absurd Tapi Tetap Seru
Kalau dipikir-pikir, konsep film ini memang bisa terdengar konyol. Bayangkan: seseorang mati gara-gara keran bocor atau angin sepoi-sepoi? Tapi itulah daya tarik Final Destination—absurditas yang dieksekusi dengan serius dan menegangkan. Kita tidak datang untuk logika realistis, kita datang untuk melihat bagaimana hal kecil bisa jadi jebakan maut yang sadis.
Dan ya, darah masih berceceran. Tubuh terpotong, alat tajam menyambar, dan kematian terjadi dalam gaya khas yang mengejutkan. Tapi dibandingkan film-film sebelumnya, ada perbedaan yang cukup terasa: film ini tidak terlalu menyoroti detail gore seperti dulu. Dulu, kameranya tanpa ampun—menampilkan tubuh yang masih kejang, luka yang terbuka, atau ekspresi kesakitan di detik-detik terakhir. Sekarang, semuanya terasa lebih cepat dan “bersih”.
Bukan berarti tidak menyeramkan, tapi kehilangan rasa mentah dan “kotor” yang membuat film lama terasa lebih disturbing. Mungkin ini keputusan kreatif agar lebih ramah penonton baru, atau mungkin memang ingin arah berbeda. Bagi sebagian penggemar lama, ini bisa jadi sedikit mengecewakan.
Tony Todd, Sang Ikon yang Selalu Dinantikan
Satu hal yang langsung menyentuh perasaan adalah kehadiran Tony Todd. Meski hanya tampil sebentar, sosoknya tetap membawa aura misterius dan dalam seperti biasanya. Bagi yang mengikuti seri ini sejak awal, melihatnya lagi bagaikan melihat simbol dari semua keanehan dan kematian yang membayangi para karakter. Sayangnya, waktu tampilnya singkat—mungkin sebagai penghormatan juga, mengingat beliau sudah tiada.
Nuansa Horor yang Dibalut Dengan Sedikit Humor
Yang menarik, film ini juga tahu cara bersenang-senang. Ada beberapa dialog kocak dan momen yang terasa seperti memecah “dinding keempat”—seolah film ini sadar akan absurditasnya sendiri. Penonton setia akan mengenali banyak referensi dan gestur kecil yang jadi penghormatan pada film-film lama.
Ada satu adegan yang cukup menggelitik—sebuah garu taman yang kelihatan tidak berbahaya, tapi di dunia ini, bahkan itu bisa jadi senjata mematikan. Dan yang bikin tambah seru, karakter-karakternya kini lebih “sadar” bahwa mereka sedang berada dalam dunia di mana kematian bisa muncul dari mana saja.
Bagi para gamer, ada kejutan kecil yang menyenangkan: munculnya salah satu adegan video game paling brutal yang pernah ditampilkan di layar lebar. Ini detail kecil, tapi pas banget dengan tone film—penuh kekerasan, tidak masuk akal, tapi menghibur.
Kesimpulan
Final Destination Bloodlines ini bukan sekadar film horor biasa. Ia membawa kembali campuran rasa takut, tegang, dan rasa penasaran yang dulu membuat kita jatuh cinta pada seri ini. Tiap adegan, tiap gerakan kecil, bisa berarti akhir hidup. Dan itulah kenapa menontonnya selalu membuat jantung berdebar.
Meski tidak sebrutal atau seintens film terdahulu, film ini tetap berhasil menghadirkan rasa ngeri dan vibe yang khas. Ceritanya lebih fokus, kematiannya tetap kreatif, dan kehadiran Tony Todd menambah rasa sentimental bagi fans lama.
Sayangnya, tidak ada kejutan atau petunjuk tambahan di akhir kredit—sedikit mengecewakan bagi yang berharap twist terakhir atau petunjuk sekuel. Tapi secara keseluruhan, film ini tetap memberikan apa yang dicari penonton Final Destination: kematian tanpa pembunuh, hanya kesalahan kecil yang membawa malapetaka. Bahkan garu rumput pun bisa jadi malaikat maut.
Final Destination Bloodlines akan mulai tayang di Indonesia pada 14 Mei mendatang. Kamu bisa kunjungi situs resminya DI SINI untuk berbagai informasi lebih lanjut.
Pastikan untuk mengikuti perkembangan berita game lainnya di Gamerwk.
@gamerwk_id
The Review
Final Destination Bloodlines
PROS
- Formula butterfly effect yang jadi ciri khas tetap dipertahankan dengan baik.
- Ada latar belakang yang lebih jelas tentang kenapa “kematian” mengejar para karakter.
- Seperti biasa, kematian dihadirkan dengan cara unik dan tidak terduga.
- Tetap menghadirkan rasa was-was dari awal hingga akhir.
- Beberapa adegan lucu dan elemen nostalgia membuat film ini menyenangkan ditonton.
CONS
- Bagi penggemar film lama, tingkat kekerasan dan sadisme terasa menurun.
- Tidak se-disturbing dulu, membuat beberapa adegan terasa lebih “aman”.
Discussion about this post