Studio indie 7Quark yang berbasis di Taiwan akhirnya telah resmi merilis game roguelike menawan mereka yaitu Yasha: Legends of the Demon Blade, yang lebih menariknya lagi mengusung style khas feodal Jepang dengan elemen fantasi. Ini tentu sangat berbeda dari ekspektasi di mana pasti ada lebih banyak developer di wilayah mereka yang berfokus pada legenda sendiri, belum lagi ide dari mitologi lain seperti Yunani misalnya yang juga jadi opsi populer di genre ini.
Kombinasi antara pertarungan intens dan cerita emosional membuat Yasha terasa cukup fresh namun tetap familiar bagi penggemar genre roguelike. Lalu apakah kualitasnya secara keseluruhan memang tepat sasaran? Langsung saja simak reviewnya di artikel berikut.
Semesta yang Menawan
Game ini berlatar di versi fiksi era Edo, di mana manusia dan iblis telah hidup damai selama 300 tahun. Namun sebelumnya, para iblis di bawah kendali Rubah Berekor Sembilan sempat mengamuk dan menghancurkan banyak desa yang menjadi target utama.
Kehidupan berubah saat seorang pahlawan hebat bernama Yashahime muncul dan membasmi para iblis, membuat mereka takut untuk kembali membuat kekacauan. Sejak saat itu, hubungan manusia dan iblis mulai membaik dan akhirnya hidup berdampingan. Setelah tiga abad berlalu, kedamaian kembali terganggu ketika iblis-iblis mulai muncul dan menyerang lagi.
Game ini menghadirkan tiga karakter utama dengan cerita masing-masing yang saling berkaitan. Tokoh sentralnya adalah Shigure, seorang pendekar wanita dari Desa Konpeki. Ia ditemani oleh Sara, iblis yang diasingkan, dan Taketora, seorang jenderal perang yang dihormati. Perjalanan mereka membentuk inti dari cerita game ini, dengan Shigure menjadi benang merah yang menghubungkan semuanya.
Combat yang Relatif Solid
Dari sisi gameplay, Yasha: Legends of the Demon Blade mengusung format roguelike klasik: pemain akan menjelajahi level demi level, dan jika mati, progres akan diulang dari awal. Tidak banyak inovasi dari segi mekanik, tapi game ini tetap terasa solid seperti judul-judul lain di genre ini, misalnya saja seperti Hades.
Pemain bebas memilih salah satu dari tiga karakter utama sejak awal. Tidak ada urutan khusus, dan game ini mendukung banyak file penyimpanan. Setiap karakter memulai dengan senjata dasar dan akan menjadi lebih kuat seiring progres. Pertarungan berlangsung dalam gaya hack-and-slash yang simpel, tapi adiktif.
Shigure dan Sara berfokus pada senjata jarak dekat dan memiliki gaya bermain yang mirip. Sebaliknya, Taketora menggunakan busur dan menuntut akurasi serta posisi yang tepat, membuatnya lebih cocok bagi pemain yang suka bermain taktis. Setiap karakter bisa membawa dua senjata sejenis sekaligus, dan bebas bertukar saat bertarung. Masing-masing senjata memiliki kemampuan unik, memberi ruang bagi pemain untuk bereksperimen dan menemukan gaya bermain favorit mereka.
Sistem Parry dan Mystic Art
Satu aspek yang terutama sangat penting dalam pertarungan adalah sistem parry. Jika dilakukan dengan tepat, parry terasa memuaskan. Namun timing eksekusinya tidak selalu jelas, karena tutorial hanya menyebutkan menekan tombol R1 saat lingkaran kuning muncul, tapi dalam praktik, pemain perlu “menebak” waktu serangan lawan.
Terdapat dua cara melakukan parry: menekan R1 secara tepat waktu, atau menahan R1 dan melepasnya saat muncul lingkaran kuning. Metode kedua lebih mudah dan tetap memberi peluang untuk menyerang balik meskipun menerima sedikit damage. Setelah berhasil memparry, pemain bisa menekan R1 lagi untuk mengaktifkan Mystic Art, serangan spesial sebagai reaksi terhadap serangan musuh.
Desain Level hingga Sistem Progression
Sebagaimana roguelike pada umumnya, level di Yasha dibuat secara acak setiap kali bermain. Meski variasinya terbatas dan beberapa layout terasa berulang, game tetap menjaga tantangan dan rasa penasaran pemain. Level dan ruangan yang ditemui tidak berubah berdasarkan karakter yang dimainkan — struktur tetap sama baik itu Shigure, Sara, maupun Taketora.
Setiap area terdiri dari tiga level utama dan ditutup dengan pertarungan melawan bos unik. Setelah mengalahkan bos, pemain bisa beristirahat, menyembuhkan HP, membeli Soul Orb, serta menikmati semangkuk ramen untuk bonus tambahan. Sistem progres memungkinkan pemain meningkatkan kekuatan seiring waktu. Setelah gugur, kamu akan kembali ke kuil awal yang bertempat di dimensi lai nsekaligus tempat untuk meng-upgrade kemampuan dasar seperti HP, jumlah dash, dan lainnya.
Selain itu, ada desa khusus untuk menaikkan level senjata, menggunakan dua jenis mata uang: token khusus dan Soul Currency yang dijatuhkan musuh. Uniknya, setiap karakter membutuhkan token berbeda: Shigure butuh pelindung tangan katana, Sara hanya butuh sebatang kayu, dan Taketora memerlukan bulu anak panah. Setiap level juga memberi kesempatan memperoleh upgrade senjata atau Soul Orb dengan efek pasif unik, seperti lingkaran api otomatis saat energi penuh, atau tembakan proyektil ekstra. Namun, semua buff ini hanya berlaku untuk satu sesi permainan.
Visual dan Sinematik Menawan
Yasha hadir dengan grafik cel-shaded yang artistik, menciptakan nuansa khas dan menenangkan. Walau bukan kekuatan utama, visual tetap mendukung atmosfer game secara keseluruhan. Area istirahat terasa tenang, memberikan kontras yang menyejukkan setelah pertempuran penuh aksi. Nuansa ini diperkuat oleh musik latar tradisional Jepang yang lembut dan mendalam, memperkuat kesan era Edo yang ingin disampaikan.
Sayangnya, aspek sinematik tidak sempurna. Beberapa adegan terasa kaku, terutama dalam dialog antar karakter. Kemungkinan besar ini akibat masalah terjemahan atau localization, membuat sejumlah frasa terdengar canggung atau kurang alami. Meski tidak mengganggu keseluruhan pengalaman secara signifikan, hal ini bisa mengurangi imersi bagi pemain yang memperhatikan detail cerita.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, Yasha: Legends of the Demon Blade adalah roguelike yang menarik dengan latar fiksi era Edo penuh mitologi Jepang. Tiga karakter utama dengan cerita yang saling terhubung menciptakan narasi yang kaya dan berlapis. Sistem pertarungan yang mudah dipahami namun tetap memuaskan, ditambah variasi senjata dan buff pasif, memberi ruang bagi pemain untuk menyesuaikan strategi masing-masing.
Meski desain level acak terasa sedikit repetitif setelah beberapa kali bermain, kehadiran bos menantang dan titik istirahat yang menyegarkan menjaga ritme permainan tetap menyenangkan. Secara visual dan audio, game ini menyuguhkan pengalaman yang khas dan atmosferik, walaupun beberapa kekurangan dalam sinematik bisa sedikit mengurangi kualitas narasi.
Tertarik dengan gamenya? Yasha: Legends of the Demon Blade kini sudah tersedia di PlayStation 4, PlayStation 5, Xbox Series, Nintendo Switch, dan PC. Detail lebih lengkap mengenai gamenya bisa kamu cek lewat website resmi mereka DI SINI.
Pastikan untuk mengikuti perkembangan berita game lainnya di Gamerwk.
@gamerwk_id
The Review
Yasha: Legends of the Demon Blade
PROS
- Roguelike dengan latar dunia dan cerita yang lebih fresh
- Adanya opsi untuk memainkan tiga karakter
- Visual menawan dengan style cel-shaded
- Gameplay yang relatif cukup solid
CONS
- Variasi kombo terbatas
- Timing parry yang tidak selalu konsisten
- Variasi level yang minim
- Beberapa scene cerita dengan penyampaian yang kurang natural
Discussion about this post