Mengamati situasi pasar game mobile yang tidak pernah lepas dari persaingan ketat, ada banyak tantangan yang harus dihadapi developer untuk bisa membuat gamenya bertahan lama. Pendapatan rendah termasuk salah satu faktor penentu terbesar akan umur dari kebanyakan game mobile, karena tentunya harus ada keuntungan yang mengalir agar gamenya bisa tetap didukung lewat update konsisten dan memenuhi berbagai biaya produksi lain. Meski termasuk faktor yang penting, nyatanya ada satu game yang masih bisa bertahan kuat terlepas dari pendapatan yang begitu rendah, dan game tersebut tidak lain adalah Girls’ Frontline.
Melalui artikel yang sempat kami tulis mengenai Alasan Sebenarnya Kenapa Game Mobile China Jauh Lebih Awet dibanding Jepang, kami ikut menyertakan Girls’ Frontline sebagai salah satu contoh terbaik dalam kasusnya. Saat iseng mengecek laporan di platform AppMagic, pendapatan gamenya memang terbukti jauh lebih rendah dibanding kebanyakan game RPG sejenis di pasaran. Tentu saja hanya pihak developer dan publisher terlibat saja yang bisa menjawab rasa penasaran mengenai eksistensinya yang kuat ini, tapi menurut pengamatan kami, alasan kenapa Girls’ Frontline bisa bertahan hingga sekarang berhubungan dengan menjaga portofolio dan identitas dari sang kreator sendiri.
Pertama kali rilis di China pada 2016 lalu, Girls’ Frontline adalah game strategi RPG yang membawa unsur moefikasi unik, yang mana kebanyakan karakter / T-Doll di gamenya diangkat dari nama senjata di dunia nyata. Gamenya sendiri dikembangkan sebagai prekuel untuk Codename: Bakery Girl yang sempat rilis di 2013 lalu, dan kebetulan sudah mendapat versi remaster / remake dengan judul baru Reverse Collapse: Code Name Bakery. Sejak debutnya tersebut, pihak MICA Team lewat kerjasama dengan beberapa publisher khususnya Sunborn sudah melakukan ekspansi besar-besaran, termasuk membuatnya sebagai sebuah franchise media.
Dari yang kami ingat serinya sudah mendapat serial manga, adaptasi anime, hingga game spin-off seperti Girls’ Frontline: Neural Cloud yang juga sudah dirilis secara global. Sebenarnya sempat ada satu lagi game spin-off dengan judul Girls’ Frontline: Glitch Land, tapi proyeknya berujung dibatalkan dan bagaimana tim developer originalnya sudah tidak lagi bersama Sunborn sejak awal 2022. Dengan memanfaatkan reputasi serinya yang sudah eksis cukup lama sekaligus menarik perhatian lebih banyak fans baru, pihak developer juga sudah aktif mengembangkan sekuel Girls’ Frontline 2: Exilium yang memang terlihat sangat mengesankan dari sisi production value dan sukses mengundang hype besar di China.
Setelah memahami sedikit perjalanan serinya tersebut, dari sini sebagian dari kamu mungkin sudah sedikit paham mengenai alasan kenapa Girls’ Frontline begitu kuat. Jawabannya ada di reputasi seri dan brandnya sendiri. MICA Team sejak debutnya sudah setia melakukan ekspansi untuk membuat Girls’ Frontline menjadi seri yang lebih besar. Terlepas dari pendapatan yang rendah, mereka di sisi lain tetap mendapat keuntungan yang setidaknya cukup untuk bisa memberi dukungan konsisten dan terus beroperasi, bahkan termasuk mendanai proyek ambisius seperti Girls’ Frontline 2: Exilium. Bagi mereka ini adalah brand yang sangat berharga dan perlu untuk dipertahankan, semua sembari menarik minat dari banyak fans lewat beragam proyek barunya.
Dengan mematikan Girls’ Frontline hanya karena alasan gamenya tidak begitu menguntungkan, maka ini otomatis akan berdampak besar ke kualitas IP / brand-nya secara menyeluruh. Sebagian fans mungkin jadi berujung khawatir akan masa depan serinya, tidak terkecuali juga untuk para calon investor. Perlu ditekankan juga kalau serinya berasal dari developer China, dan bagi yang tidak asing dengan sepak terjangnya, mereka terbilang jarang mematikan game kecuali memang terpaksa. Ini berhubungan dengan banyak faktor mulai dari dorongan biaya produksi lebih yang sudah dikeluarkan, reputasi brandnya, dan masih banyak lagi yang mungkin juga berhubungan dengan regulasi pemasaran game yang lebih ketat di wilayahnya.
Sangat berbeda tentunya dengan developer Jepang, yang mana kebanyakan dari mereka cenderung hanya menyisihkan budget produksi aman untuk meracik game mobile standar dan berujung mematikannya dalam waktu singkat jika tidak lagi menguntungkan. Contoh serupa memang tidak selalu berlaku ke semua developer, termasuk juga yang ada di China, jadi memprediksi umur dari suatu game mobile terkadang bisa berakhir di skenario yang jauh berbeda atau di luar dugaan. Inilah yang dirasakan oleh banyak pemain ke Girls’ Frontline dan bagaimana gamenya bisa bertahan selama ini meski dengan pendapatan rendah.
Daripada menebak-nebak kapan gamenya dimatikan, kami justru merasa kalau kehadiran Girls’ Frontline 2: Exilium hanya akan semakin memperkuat reputasi serinya untuk bisa bertahan lebih lama dan siapa tahu saja tumbuh jadi nama yang lebih mainstream. Sebelum menutup artikel ini, kami juga ingin memberi pencerahan soal desas-desus/rumor di komunitas soal bagaimana aksi money laundering dari pihak atasan adalah faktor dibalik eksistensi gamenya. Agar tidak ada kesalahpahaman bagi yang mungkin belum tahu, rumor tersebut yang jelas palsu dan lebih dibuat sebagai guyonan semata yang dibuat berdasar dari rasa heran tadi.
Pastikan untuk mengikuti perkembangan berita game lainnya di Gamerwk.
@gamerwk_id
Discussion about this post