Bagimu apa yang menjadi tolak ukur akan kualitas sebuah game? Sebagian mungkin memilih cerita, gameplay, atau bahkan grafis, tapi bagi kami satu yang sering dilupakan adalah bagaimana game tersebut dapat memberi konklusi memuaskan, ending yang dapat menjadi pemicu akan sebuah pengalaman berkesan dan bahkan bisa memberi pelajaran tersendiri. Bagi penulis, game seperti ini tidak begitu banyak, tapi satu yang dirasa paling unggul adalah Danganronpa V3 dan bagaimana gamenya punya ending terbaik dari semua.
Tentu saja ini hanya sebatas opini pribadi, karena nyatanya kritik terbesar dari Danganronpa V3 justru terletak pada endingnya yang dianggap kontroversial. Tapi artikel berikut tidak akan berfokus pada pembelaan ending Danganronpa V3, melainkan kenapa penulis bisa berani menganggapnya sebagai yang terbaik. Tidak hanya untuk franchisenya saja, melainkan untuk semua game yang pernah penulis mainkan sejak masa kecil hingga dewasa ini.
Sebelum masuk ke pembahasan, penulis ingin memberi WARNING karena artikel berikut mengandung spoiler berat untuk seluruh seri utama Danganronpa. Karena itu jika kamu belum sempat menamatkan game-gamenya atau berencana untuk mulai main, maka sebaiknya jangan sampai baca pembahasan di bawah kecuali jika memang tidak keberatan atau penasaran. Your choice.
Mengenal Danganronpa
Pertama mari kita kembali memahami apa itu Danganronpa. Pertama kali memulai debutnya di 2010 lalu, Danganronpa sendiri adalah franchise game visual novel yang menggabungkan berbagai konsep gameplay mulai dari petualangan, detektif, bahkan hingga elemen dating sim juga. Ceritanya berfokus pada kelompok murid angkatan baru Hope’s Peak Academy yang terjebak dalam permainan hidup dan mati oleh sosok maskot beruang misterius bernama Monokuma. Setiap murid menyandang gelar “Ultimate” yang menjadi bukti kalau mereka memiliki bakat terbaik di bidangnya, sesuatu yang memperkuat keunikan masing-masing, bahkan termasuk cara melakukan eksekusi saat menjalani Death Game.
Lalu apa itu Death Game? Ada banyak artian untuk genre ini, tapi dalam seri utama Danganronpa mereka memaksa para murid Ultimate untuk saling menghabisi satu sama lain jika ingin melarikan diri ke kehidupan normal, tapi untuk melakukannya kejahatan mereka tidak boleh sampai terbongkar saat menjalani sidang (Class Trial). Jika tidak ada bukti yang mendukung, maka murid yang berani mengotori tangannya akan bebas sementara semua murid lain akan kehilangan nyawanya. Tapi jika aksi murid yang melakukan kejahatan dapat terbongkar, maka hanya dia saja yang akan dieksekusi sementara semua murid lain harus menjalani rutinitas biasa sampai hanya tersisa dua orang di akhir. Konsep Death Game ini dipertahankan di semua serinya, tapi agar tidak stagnan, setiap sidang kelas selalu membawa plot twistnya sendiri yang selalu menggugah.
Terdengar brutal memang, tapi Danganronpa masih membawa elemen cerianya sendiri di sebagian momen meski pada akhirnya pemain akan selalu dibawa pada realita keji dari nasib banyak karakter favorit yang berakhir tragis. Dibalik temanya yang sudah berat tersebut, sang kreator Kazutaka Kodaka ternyata sempat mengajukan konsep awal yang jauh lebih brutal hingga ditolak oleh pihak Spike (sekarang Spike Chunsoft). Bermodalkan kesuksesan seri pertamanya, Danganronpa berkembang menjadi franchise yang lebih dikenal luas hingga mendapat ekspansi ke media manga hingga anime eksklusifnya sendiri.
Membahas Ending Danganronpa V3 [AWAS SPOILER!!]
Ok saatnya masuk ke wilayah spoiler sekaligus yang akan jadi pusat pembahasan pada artikel berikut, yaitu ending dari Danganronpa V3 itu sendiri. Kehadiran seri ketiganya memang jadi kejutan spesial bagi banyak fans, tapi satu yang menjadi kejanggalan di awal adalah bagaimana game tersebut hampir tidak memiliki hubungan dengan dua seri originalnya. Ini tentu menjadi tanda tanya besar, karena bahkan setiap spin-off hingga anime Danganronpa selalu melibatkan konflik hingga karakter yang berhubungan dengan tragedi Hope’s Peak Academy. Mengesampingkan kembalinya Monokuma serta Death Game klasiknya, lalu apa yang membuat V3 berbeda dari yang lain? Jawabannya adalah karena V3 mengambil setting di “dunia nyata.”
Bagian ini bisa lumayan rumit untuk dijelaskan, tapi kita mulai dulu dari plot twist terbesar di chapter akhir gamenya yaitu bagaimana franchise Danganronpa ternyata adalah “karya fiksi.” Seluruh karakter dalam V3 sendiri adalah sosok dari dunia nyata yang mengikuti audisi untuk bergabung dalam Death Game populer yang mereplika seri Danganronpa. Mereka menganggap dirinya sebagai bagian dari Danganronpa termasuk harapan terakhir umat manusia yang dibawa Hope’s Peak Academy karena ingatannya sudah dimodifikasi. Jadi meski termasuk sosok asli di kehidupan nyata, mereka tidak punya tempat untuk kembali selain hidup sebagai “karakter fiksi berdarah daging”, sebuah alat untuk mengisi kepuasan banyak fans Danganronpa yang haus akan konflik dan rasa putus asa di dunia yang dianggap terlalu damai.
Ending ini menjadi tamparan keras bagi banyak fans pada saat itu, apalagi saat gamenya tidak memberi konklusi jelas apakah Danganronpa ternyata memang sebagai karya fiksi di dalam V3, ataukah Death Game yang dialami karakter gamenya adalah semacam hasil rekayasa hebat agar membuat mereka percaya kalau sesuatu yang nyata justru adalah fiksi. Cara kami menjelaskan mungkin agak sulit dicerna, ini karena gamenya memandang kalau Danganronpa itu sendiri adalah karya fiksi dan bagaimana mereka juga membuat skenario mengenai adanya kehidupan nyata. Intinya kamu bisa mengantisipasi adanya aspek menembus dinding keempat yang sangat gila dan karena inilah ada banyak orang tidak suka dengan ending Danganronpa V3. Mereka tidak suka dengan kemungkinan kalau karakter yang selama ini disukai ternyata hanyalah “karya fiksi dalam karya fiksi”, termasuk juga semua plot yang sudah dibangun selama bertahun-tahun lamanya dianggap sia-sia.
Lalu kenapa kami justru menyukainya dan bahkan menganggap ending Danganronpa V3 sebagai yang terbaik? Alasannya mendasar pada keputusan berani Kodaka itu sendiri. Dia tidak ragu untuk mengorbankan seluruh franchise yang sudah dibangun demi mengecapnya sebagai “karya fiksi dalam karya fiksi”, seolah memberi semacam fakta kalau karakter dan cerita yang selama ini disukai fans justru tidak nyata di dalam universe Danganronpa itu sendiri. Tapi di saat yang sama mereka tidak secara langsung memberi kejelasan pasti, karena ada kemungkinan jelas juga kalau Death Game yang dialami karakter dalam V3 hanyalah rekayasa untuk memanipulasi pikiran mereka agar tidak bisa membandingkan mana yang nyata dan palsu.
Selama ini franchise Danganronpa selalu berfokus pada tema Hope dan Despair (harapan dan putus asa), sedangkan V3 membawa tema berbeda yaitu Truth dan Lie (kebenaran dan kebohongan). Dari inti baru inilah gamenya berhasil memberi pelajaran yang lebih bermakna, sebuah kenyataan kalau harapan tidak selalu membawa hasil positif. Seperti bagaimana banyak fans Danganronpa haus akan rasa harapan dan ingin melihat lebih banyak Death Game, tapi tanpa disadar sambil mengesampingkan fakta kalau ini bisa berkembang menjadi sesuatu yang tragis dan merenggut korban, sebuah contoh yang diperlihatkan V3 lewat diadakannya adaptasi Death Game di kehidupan nyata dan usaha berani demi memecah siklus tersebut.
Terlepas dari endingnya yang belum memberi konklusi pasti, penulis rasa Kodaka justru berhasil menciptakan penutup paling manis. Entah karena dirinya sudah punya rencana jauh hari untuk membentuk developer baru bersama Rui Komatsuzaki (Too Kyo Games) dan tidak lagi bisa mendukung Danganronpa, atau karena faktor lain yang belum diketahui, satu yang pasti kalau ada kemungkinan franchisenya sulit mencapai akhir memuaskan. Selama ada rasa haus akan harapan dan putus asa, maka itu sudah jadi modal cukup untuk membuat Danganronpa 4, 5, 6, 7, dan seterusnya. Siklus ini tidak akan pernah berakhir selama franchisenya masih disukai banyak fans, karena itulah Kodaka berusaha membangun sebuah ending yang dapat menjadi bahan pertimbangan maupun refleksi dalam bentuk terbaik, sesuatu yang kami rasa berhasil dieksekusi V3 dengan manis.
Satu faktor tambahan kenapa kami juga menyukai ending ini terletak di keberanian sang kreator untuk membuat karya yang diinginkan. Artinya mereka tidak sekedar mengikuti formula aman hanya demi memuaskan fans, melainkan membuat karya yang ingin direalisasikan sesuai bayangan dan keinginan sendiri. Contoh seperti ini sebenarnya tidak begitu jarang, salah satunya seperti Neil Druckmann yang berani membawa Abby sebagai karakter inti dalam The Last of Us Part II hingga berujung jadi kontroversial juga. Bisa dibilang ini termasuk bukti kalau banyak gamer terkadang tidak ingin memberi pemahaman lebih akan visi dari sang kreator dan hanya terfokus pada kepuasan pribadi. Terlepas apakah kamu berakhir menyukai endingnya atau tidak, ini tetaplah buah hasil dari bayangan sang kreator yang ingin menciptakan sesuatu yang berbeda dan tidak sekedar mengambil jalur aman. Hanya saja bedanya dengan Kodaka, dia tidak ragu untuk “mengorbankan” seluruh franchisenya demi membawa tema serta pelajaran baru yang diinginkan lewat V3.
Refleksi dengan Kehidupan Nyata
Ending Danganronpa V3 membawa beberapa pelajaran yang lebih berharga, salah satunya adalah cara kita dalam membandingkan fiksi dengan kehidupan nyata. Sebagai contoh, kebetulan beberapa waktu lalu Kazutaka Kodaka yang merupakan kreator Danganronpa membuat postingan Tweet berikut:
ウィルスミスのヤツ、普通になしでしょ。殴る必要まではないでしょ。容姿イジリももちろんなしだとしても、公の場で暴力って最低でしょ。賞を取り消していいと思う。
— Kazutaka kodaka/小高和剛 (@kazkodaka) March 29, 2022
Seperti yang bisa kamu cek, postingannya mendapat rasio besar di QRT karena Kodaka mengkritik aksi kekerasan yang dilakukan Will Smith saat menampar Chris Rock di ajang Oscar. Banyak orang kemudian jadi mengejek Kodaka yang dianggap tidak punya hak untuk mengkritik kekerasan kecil, semua hanya karena dia adalah kreator dibalik franchise Death Game brutal yang juga diisi beragam karakter psikopat. Dari sini saja bisa dilihat kalau banyak orang memberi penilaian melenceng, karena mereka menilai Kodaka berdasar pada karya fiksinya dan bukan pendapat pada apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan di kehidupan nyata.
Terlepas dari apapun pendapatmu pada aksi Will Smith di ajang Oscar, segala bentuk kekerasan frontal apalagi yang diperlihatkan di publik luas selalu berakhir buruk. Tidak hanya memberi kesan negatif, tapi pasti ada penyesalan yang akan dirasa setelah semua berakhir. Kodaka hanya semata menilai kalau apa yang dilakukan Will Smith tidak seharusnya terjadi, tapi ironinya banyak yang menganggap dia tidak punya hak untuk memberi komentar positif tersebut karena posisinya sebagai kreator Danganronpa. Sebuah contoh kalau banyak orang terkadang tidak bisa membedakan fiksi dan kehidupan nyata.
Sebenarnya penulis ingin membahas lebih dalam akan betapa spesialnya ending Danganronpa V3 yang juga berhubungan dengan beberapa karakter pembangun solid dalam game tersebut, tapi rangkuman di atas rasanya sudah cukup untuk memberi gambaran akan opini pribadi penulis kenapa Danganronpa V3 adalah game dengan ending terbaik. Lalu bagaimana pendapatmu sendiri? Apakah ada game spesifik yang dirasa punya ending lebih baik juga? Jangan sungkan untuk berikan pendapatmu di kolom komentar ya!
Pastikan untuk mengikuti perkembangan berita game lainnya di Gamerwk.

@gamerwk_id
Discussion about this post