Jika melihat sepak terjang franchise Final Fantasy khususnya selama satu dekade terakhir, franchise ini bisa dibilang berada dalam status yang tidak selalu menentu. Meski setiap game di serinya bahkan termasuk yang punya kualitas di bawah standar masih punya basis fans sendiri, ada kerinduan kalau Final Fantasy bisa kembali ke masa kejayaan dulu di mana setiap game punya karakteristik kuat selagi mempertahankan kualitas. Demi mengembalikan reputasi tersebut selagi menarik perhatian lebih banyak fans baru, akhirnya Square Enix telah menyiapkan Final Fantasy XVI yang akan kami bahas dalam review kali ini.
Berbeda dari sebagian besar seri sebelumnya, game ini dikembangkan oleh Creative Business Unit III yang merupakan developer dibawah pimpinan Naoki Yoshida. Dia dan timnya adalah yang bertanggungjawab dalam pengembangan Final Fantasy XIV yang hingga sekarang masih punya reputasi sebagai salah satu MMORPG tersukses di pasaran. Berkat dukungan dari para staff berpengalaman serta waktu pengembangan game yang berjalan cukup mulus, ada harapan kuat kalau seri barunya ini bisa membalikan kepercayaan fans.
Terlepas dari kualitas Final Fantasy XIV yang memang sangat solid, ini masihlah game berbasis MMORPG yang tidak mudah untuk diakses pemain kasual, sedangkan meski Final Fantasy VII Remake juga berujung disukai banyak fans, gamenya hanyalah proyek daur ulang yang tidak membawa konten penuh sebelum rilis seri ketiganya nanti. Dari sinilah Final Fantasy XVI punya semacam tanggung jawab lebih besar, kalau ini adalah game mainline yang benar-benar baru dan kualitasnya akan punya peran kuat dalam merubah reputasi franchisenya.
Tapi apakah gamenya sendiri berhasil dalam menjawab misi tersebut? Simak saja rangkuman review kami di bawah ini!
Jalan Cerita
Cerita adalah salah satu kekuatan utama dalam Final Fantasy XVI yang kali ini dieksplor lebih dalam dan serius. Mengesampingkan rating M dari ESRB untuk Final Fantasy Type-0, secara teknis ini adalah game pertama di serinya yang dikhususkan penuh untuk membawa rating dewasa. Dari apa yang sudah kami saksikan di ceritanya, pemberian rating ini memang sangat bisa dimengerti karena Final Fantasy XVI membawa tema berat yang dipenuhi kekerasan brutal, kematian, banjir darah, adegan seksual, penggunaan kata kasar secara bebas, dan masih banyak lagi. Meski begitu semua elemen tersebut tidak berujung dipaksakan dan justru mendukung tersampaikannya sekian banyak momen.
Mengenai sinopsisnya, game ini berfokus pada cerita seorang mantan putra kerajaan Rosaria bernama Clive Rosfield, yang mana dia berakhir sebagai tentara budak kerajaan Sanbreque setelah invasi ke negerinya yang juga berujung pada tragedi besar hingga merenggut nyawa sang adik Joshua Rosfield dan beberapa orang terdekatnya termasuk sang ayah yaitu Archduke Rosaria sendiri. Ini hanyalah satu dari sekian banyak konflik yang terjadi di Valisthea, sebuah daratan / realm luas yang terbagi antar beberapa kerajaan dan ambisi mereka dalam mengamankan Mothercrystal atau merebutnya dari yang lain.
Mothercrystal sendiri adalah elemen kunci dalam cerita Final Fantasy XVI, tapi berbeda dengan seri lain di franchisenya yang sering digambarkan sebagai objek suci, Crystal di game ini justru berakhir sebagai pemicu dari menyebarnya wabah bernama Blight yang membuat daratan di berbagai penjuru realm menjadi tandus tanpa kehidupan. Saat beberapa kerajaan terlibat dalam perang besar dalam merebut kekuasaan Mothercrystal, Clive akhirnya berhasil keluar dari takdir mirisnya setelah diselamatkan oleh pemimpin kelompok outlaw bernama Cidolfus Telamon yang kemudian meyakinkannya untuk menciptakan dunia di mana manusia bisa hidup dan mati sesuai jalan mereka, tapi semua itu hanya bisa tercapai dengan menghancurkan semua Mothercrystal demi menghilangkan ketergantungan umat manusia padanya.
Kurang lengkap juga menjelaskan ceritanya tanpa menyebut Eikon, karena ini justru adalah tema yang lebih ditekankan sebagai identitas terkuat di gamenya. Eikon sendiri hanyalah nama lain dari Summon yang ada di seri Final Fantasy. Tapi daripada hanya hadir sebagai senjata super yang memfasilitasi gameplay, kali ini perannya digantikan sebagai karakter utama yang kekuatannya mendiami para karakter utama dan beberapa antagonis. Para manusia spesial yang diberkati kekuatan Eikon ini disebut sebagai Dominant, dan seperti yang bisa dilihat dari logo utama gamenya, Phoenix vs Ifrit memang tergambar sebagai sinergi yang begitu pas untuk menjelaskan cerita utama di gamenya, karena Final Fantasy XVI memang membawa banyak cerita yang mencakup hingga ke karakter pendukungnya.
Ada beberapa faktor yang membuat cerita di gamenya ditangani dengan begitu baik, tapi jika harus memilih mana yang paling berkontribusi, maka kami rasa porsinya secara keseluruhan adalah jawabannya. Jadi berbeda dari Final Fantasy XV yang ceritanya masih harus terpotong dengan beberapa media hingga DLC yang belum rampung, atau Final Fantasy VII Remake yang harus terpotong menjadi tiga game dengan seri pertamanya yang dipenuhi padding, kali ini Final Fantasy XVI benar-benar menyuguhkan cerita dalam porsi penuh yang bahkan sampai mengeksplor beberapa periode waktu. Semuanya dikemas dengan cukup rapi dan kamu bisa melihat dengan jelas adanya perubahan di banyak tempat mulai dari seberapa jauh karakter telah berubah sejak awal hingga akhir cerita, situasi di beberapa lokasi seiring berjalannya konflik di seluruh Valisthea, dan seberapa dalamnya aspek world building yang ingin dicapai demi memberi ilusi akan sebuah dunia yang penuh kehidupan di setiap sudutnya.
Faktor lain yang kami rasa tidak kalah penting dalam membuat cerita di gamenya bisa lebih dinikmati juga ada di pembawaan akting karakter. Untuk pertama kalinya dalam sejarah franchise ini pihak developer melakukan sesi rekaman berdasar pengisi suara Inggris lebih dulu, termasuk menyesuaikan lip sync dengan bahasanya. Cukup disayangkan bagaimana opsi bahasa Jepangnya tidak mendukung lip sync, tapi kami harus akui kalau latar gamenya yang begitu kental dengan era medieval Eropa memang jauh lebih cocok saat disandingkan dengan bahasa Inggris. Selain itu kualitas pengisi suaranya bahkan hingga ke NPC terdengar sangat solid, di mana kami tidak lagi mendapati adanya akting canggung dengan trope khas dari game Jepang seperti “anime grunt” yang memang lumayan banyak ditemui di Final Fantasy VII Remake misalnya.
Sebagai tambahan, gamenya juga punya semacam fitur unik yang dinamai “Active Time Lore”. Gunanya sendiri adalah memberimu informasi spesifik dari lokasi hingga karakter yang terlibat sesuai jalannya progress cerita. Fiturnya bisa diaktifkan kapan saja bahkan saat sedang berada di tengah cutscene, jadi kamu bisa mendapat pemahaman lebih jelas saat misalnya tidak begitu mengikuti apa yang tengah dibahas dalam suatu cutscene misalnya.
Action Combat Terbaik di Serinya
Meski kami sempat membawa perbandingan dengan Devil May Cry di preview sebelumnya, setelah memainkan Final Fantasy XVI lebih jauh semua persamaan tersebut tidak begitu mengikat kuat pada style combatnya secara menyeluruh. Ditangani oleh Ryota Suzuki yang sempat menjabat sebagai Combat Director untuk Devil May Cry 5, dia masih mempertahankan beberapa moveset khas dari game tersebut yang hanya berujung jadi moveset standar untuk membangun atau memperpanjang combo. Tidak peduli seberapa stylish gaya bermainmu, kontribusi terbesar dalam membangun damage selalu ada pada kombinasi skill utama dari tiap Eikon. Berkat potensi spesial yang dimiliki Clive, dia diberkati kemampuan untuk menyerap essence dari setiap Eikon yang memberinya akses ke lebih banyak skill baru.
Gamenya sendiri hanya memungkinkanmu untuk menggunakan tiga style Eikon dalam waktu bersamaan, jadi semakin banyak Eikon yang dimiliki setelah mencapai progress jauh, maka kamu bisa bereksperimen dengan gaya bermain baru yang sebelumnya mungkin belum bisa tercapai dengan skill terbatas. Phoenix adalah style yang akan kamu dapatkan sejak awal gamenya dengan ragam skill yang sangat sederhana seperti serangan uppercut besar dengan Rising Flames atau AOE dengan Scarlet Cyclone, tapi pada akhirnya kami berujung terus menggunakan style ini berkat satu skillnya yang sangat berguna yaitu Phoenix Shift. Berbeda dari skill utama yang memiliki cooldown, Phoenix Shift dikategorikan sebagai “Eikonic Feat” yang bisa dieksekusi dengan bebas dan berguna sebagai gap closer berkat kemampuan teleportnya yang bisa diikuti dengan serangan.
Jadi di sini Eikonic Feat bisa dianggap sebagai utility daripada skill untuk melancarkan damage besar. Contoh lain adalah Garuda yang juga masih kami gunakan hingga akhir gamenya berkat Deadly Embrace, sebuah skill yang memungkinkanmu untuk menarik musuh lemah dari jauh, tapi di beberapa situasi juga bisa kamu gunakan untuk mengaitkan diri ke musuh kuat agar bisa tetap berada di udara lebih lama dengan manuver khusus atau menjatuhkan keseimbangan mereka saat berada dalam posisi Partial Stagger (saat bar stagger mereka berhasil dikurangi hingga setengah dan diikuti dengan efek suara sebagai penanda). Contoh lain adalah Titan dengan Titanic Block untuk menahan serangan sekaligus sebagai skill parry yang bisa diikuti dengan counterattack.
Meski kami rasa tidak semua Eikonic Feat bisa dianggap berguna, gamenya tetap memungkinkanmu untuk memodifikasinya dengan bebas, atau lebih spesifiknya kamu bisa mengganti susunan skill dari setiap style meski tidak harus menggunakan skill dari Eikon yang sama. Dengan ini kamu bisa menggunakan skill dari semua Eikon jika mau meski hanya dibatasi dengan tiga style tadi, tapi dengan catatan kalau skill yang ingin digunakan harus sudah mendapat “Mastery” dengan melakukan upgrade sampai dua kali. Upgrade skill membutuhkan Ability Points yang bisa didapat seiring berjalannya progress, tapi karena Mastery skill tidak murah apalagi jika kamu mengincar skill Ultimate dari setiap Eikon, harus ada pertimbangan lebih akan mana yang sekiranya paling kamu butuhkan.
Kami sendiri berujung menaruh prioritas akan Mastery pertama ke Judgment Bolt yang merupakan skill Ultimate milik Ramuh karena potensi damage tinggi dan lumayan seimbang dengan Stagger, tapi di sisi lain kamu bisa saja memilih Aerial Blast milik Garuda jika mengincar efek Stagger maksimal. Intinya setiap skill punya statistik berbeda bergantung dari build seperti apa yang ingin kamu buat tanpa harus terikat pada style Eikon spesifik berkat Mastery tadi. Karena setiap skill memiliki cooldown, kamu dituntut untuk selalu fleksibel dengan switch antar style dan membangun combo dari skill yang tersedia, jadi setelah mendapat style Eikon ketiga akhirnya kamu baru bisa merasakan aliran combat yang jauh lebih seru. Hanya saja untuk mencapai titik tersebut kamu harus melewati progress yang cukup panjang di ceritanya, jadi ada porsi besar di mana kamu hanya bisa menggunakan Phoenix dan Garuda.
Secara keseluruhan gamenya memiliki combat yang terasa berbobot dan responsif. Kamu bisa mengeksekusi banyak combo keren, clash antar serangan fisik / magic, counterattack, recovery, manuver presisi, stomp musuh untuk memperpanjang waktu di udara, hingga aksi canceling yang sangat berkontribusi untuk membangun aliran combat tanpa henti. Ini bahkan mencakup aksi yang tidak disangka bisa ada di gamenya seperti swift recovery parry, atau lebih spesifiknya manuver menangkis serangan saat memulihkan diri dari hempasan musuh. Cukup membantu juga bagaimana gamenya memiliki window yang lumayan lega untuk melancarkan parry dan counterattack, jadi pemain pemula sekalipun bisa beradaptasi dengan lebih cepat pada combatnya selagi bisa tampil keren. Sebagai tambahan ada beberapa momen QTE saat melawan beberapa boss utama, dan meski kami dulu tidak begitu menyukainya, game ini berhasil menyuguhkannya dengan semacam efek visual dan suara yang memberi impact lebih setiap kali menekan tombol.
Penting untuk ditekankan kalau Final Fantasy XVI masihlah dibangun sebagai RPG dengan beberapa elemen khas yang sudah melekat kuat di serinya. Sebagai contoh game ini masih membawa sistem Limit Break yang memungkinkan Clive untuk masuk dalam mode semi-transformasi super hingga sistem Stagger yang cukup mirip dengan Final Fantasy VII Remake. Setiap menyelesaikan pertarungan kamu akan mendapat EXP, Gil, dan berbagai item khusus, terutama saat melawan mini-boss atau boss utama yang selalu menyuguhkan “Spoils” berupa jarahan tempur seperti aksesoris hingga item crafting. Sistem levelingnya sendiri kami rasa tidak begitu memberi restriksi pada progress karena tingkat kesulitannya masih terbilang mudah meski bermain di “Action Mode”, belum lagi bagaimana kami bisa mengalahkan boss dengan level yang jauh lebih tinggi saat mengikuti misi Hunt Board. Mungkin efeknya sendiri baru akan lebih terasa setelah menjajal mode “Final Fantasy” setelah menyelesaikan gamenya.
Peran AI Party Member
Sama seperti yang sempat kami bahas pada preview sebelumnya, fakta kalau game ini hanya memungkinkanmu bermain sebagai satu karakter justru adalah pendekatan yang lebih kami sukai dari Action RPG manapun. Alasannya sederhana, karena kamu tidak perlu dipusingkan untuk selalu babysit party member lain yang kemungkinan tidak akan pernah dipakai dalam gameplay. Selebihnya kami juga punya kecenderungan untuk lebih banyak memainkan karakter utama, jadi membangun sistem combat yang lebih difokuskan pada satu karakter seperti ini tentunya semakin memperkaya mekanismenya.
Mengesampingkan semua itu, gamenya sendiri tetap memiliki party member yang akan menemani petualanganmu. Mereka dikontrol sepenuhnya oleh AI yang terbagi antara dua jenis yaitu party member manusia dan Torgal si anjing setiamu. Berbeda dari party manusia yang akan berganti seiring jalannya progress, Torgal akan menemani Clive di hampir seluruh durasi gamenya karena dia memiliki mekanisme yang mana kamu bisa memberi Command khusus lewat D-Pad untuk menyerang maupun memulihkan HP.
Meski damage maupun support pemulihannya terasa lemah, Torgal bisa sangat membantumu dalam mengeksekusi kombo di udara berkat kemampuannya untuk menghempaskan musuh. Seberapa efektif kamu bisa memberi command, Torgal bisa jadi rahasia untuk menguasai kombo udara karena bagaimana kamu bisa memberi perintah kapan saja bahkan saat Clive tidak menyerang. Lalu bagaimana dengan party member manusia? Menurut kami peran mereka lebih sebagai pelengkap dan cukup pasif, tapi setidaknya mereka telah diprogram sedemikian rupa agar bisa menyesuaikan target musuh yang dilawan dan tidak akan sampai merusak combomu, belum lagi mereka juga mampu menghabisi mob biasa sehingga kamu bisa berfokus melawan target yang lebih kuat.
Ini mungkin akan terdengar sangat subjektif, tapi kami termasuk kalangan pemain yang lebih menyukai game action RPG dengan fokus ke satu atau sedikit karakter playable. Ini mengarah ke kebiasaan pribadi tadi yang mana kami lebih nyaman memainkan karakter pertama atau sang protagonis dari setiap game dengan sistem combat seperti ini, karena jika sudah terbiasa dengan gaya bermainnya, maka sulit untuk memaksa diri mencoba karakter lain karena cenderung bersifat opsional. Beda cerita jika gamenya mengusung gameplay turn-based RPG di mana party member sangat esensial dan kamu hanya perlu memahami fungsi dari tiap sekill mereka daripada gaya bermainnya. Untuk kasus Final Fantasy XVI selain memberi mekanisme yang lebih terfokus pada Clive, kami juga tidak perlu pusing harus menjaga party member seperti memulihkan mereka di tengah pertempuran saat hampir sekarat atau menyisihkan sumber daya untuk upgrade gear mereka.
Kustomisasi dan Aksesibilitas
Beralih ke bagian kustomisasi, gamenya dikemas dengan cukup sederhana di mana kamu bisa mengatur Gear dan aksesoris pembantu, shortcut item consumable, hingga style Eikon yang digunakan serta urutannya. UI-nya sendiri sangat rapi dan memberi informasi secukupnya yang akan langsung membuatmu terbiasa bahkan meski hanya melihat dari screenshot. Gear hanya mengganti wujud senjatamu karena desain karakter Clive sudah dibuat mengikuti alur cerita, termasuk juga dengan aksesoris yang kesemuanya berguna untuk menambah statistik seperti HP, Attack, Defense, dan Stagger.
Khusus untuk aksesorisnya ada jenis cincin khusus yang bisa membuat gamenya jadi sangat mudah, contohnya seperti Ring of Timely Evasion yang memungkinkan Clive menghindari serangan musuh secara otomatis hingga Ring of Timely Strikes yang membuat kombinasi skill kompleks dapat dieksekusi dengan satu tombol saja. Terdengar terlalu memanjakan pemain memang, tapi ini juga termasuk dalam aksesibilitas gamenya untuk para pemain yang tidak terbiasa dengan game action, sementara bagi pemain veteran di genrenya yang ingin ekstra tantangan lebih bisa menghiraukan aksesoris ini dan memainkan gamenya secara mentah.
Setelah memainkan gamenya lebih jauh kami ikut mendapati lebih banyak aksesoris dengan efek yang cukup unik, salah satunya seperti Berserker Ring yang memberi profisiensi ke serangan setiap kali mengeksekusi precision dodge, dan ada juga Channeler’s Whispers yang berguna untuk memberi charge ke serangan sihirmu secara otomatis sehingga kamu tidak harus menahan tombolnya secara manual. Selebihnya kamu akan mendapati banyak aksesoris yang memberi efek khusus ke setiap skill Eikon seperti mengurangi cooldown atau meningkatkan damagenya. Setidaknya jika harus dibandingkan dengan kebanyakan RPG yang biasanya memberi buff stats yang sangat kecil hingga hampir tidak ada efeknya, setiap aksesoris di Final Fantasy XVI punya efek yang lumayan terasa dan bahkan bisa sampai merubah style bermainmu.
Pertarungan Antar Eikon yang Luar Biasa Epik
Jika ada satu bagian lain dari cerita hingga gameplay yang membuat kami begitu takjub dengan Final Fantasy XVI, maka itu ada di pertarungan antar Eikon yang menjadi tema utamanya. Meski tidak begitu banyak dan terikat sepenuhnya pada progress cerita spesifik, setiap pertarungannya dikemas dengan spectacle / production value yang luar biasa. Jika tolak ukurmu hanya berdasar pada apa yang sudah dipamerkan lewat video gameplay resmi, maka kami bisa mengonfirmasi kalau gamenya punya beberapa pertarungan lain yang berkali-kali lipat jauh lebih epik dan siap membuatmu tercengang. Kami bahkan tidak bisa mengingat jika ada game modern lain di beberapa tahun terakhir yang bisa menandingi production valuenya, dan lebih mengesankan lagi bagaimana semua ini berhasil dicapai gamenya dengan bermodalkan grafis in-game dan bukannya CGI buatan Visual Works seperti kebanyakan seri Final Fantasy lain.
Seperti yang sudah dijanjikan, setiap pertarungan Eikon hadir dengan gameplay berbeda, contohnya Phoenix vs Ifrit yang dikemas dengan style rail-shooter, atau Ifrit vs Garuda yang mirip seperti pertandingan gulat. Setiap pertarungan dipenuhi banyak adegan sinematik epik dan QTE di beberapa momen, apalagi menjelang akhir pertempuran yang selalu diakhiri dengan bombastis. Ada apresiasi tersendiri juga bagaimana setiap Eikon digambarkan dalam wujud yang terasa sesuai dengan ukurannya, baik itu dari pergerakan mereka hingga sensasi tiap serangan yang terasa berbobot. Seleksi musik dari Masayoshi Soken apalagi ikut membuat kami merinding di setiap pertempuran yang alunannya bahkan dibuat menyesuaikan fase dan segala aksi yang terjadi.
Hanya saja berbeda dari sistem gameplay yang kompleks saat berada dalam wujud manusia, aksi yang bisa kamu lakukan saat berubah menjadi Ifrit sangat terbatas dan bahkan pertempurannya terasa mustahil membuatmu sampai bisa kalah. Setidaknya ini hanya lebih terbatas pada pertarungan melawan Garuda, karena pada beberapa pertarungan Eikon selanjutnya kamu akan diberi akses ke gameplay yang lebih mendalam dan penuh manuver layaknya saat mengontrol Clive.
Eksplorasi, Hideaway, dan Konten Sampingan
Seperti yang diketahui, gamenya tidak dikemas sebagai open-world, tapi masih ada sisi eksplorasi yang cukup memuaskan. Jadi keseluruhan realm Valisthea dalam game ini dikemas dalam map yang terbagi dari beberapa open-zone luas. Tidak ada mini-map yang ditampilkan di layar saat gameplay, jadi terkadang kamu harus melakukan navigasi secara buta dan jika tersesat, kamu bisa selalu menekan touchpad di kontroler untuk melihat mapnya. Kami tidak keberatan dengan minimnya UI saat eksplorasi karena ini membuatnya lumayan imersif, hanya saja ada beberapa map yang punya desain cukup membingungkan dan memberi semacam ilusi kalau kamu bisa menjangkau beberapa tempat di kajauhan sebelum akhirnya terhalang invisible wall.
Contoh utamanya adalah Rosaria, mapnya didominasi dengan area rawa-rawa membingungkan dan air yang lumayan dangkal, tapi kami mendapati harus melewati rute yang sudah ditentukan sehingga eksplorasi jadi begitu terhambat karena Clive ternyata tidak bisa berenang. Tidak ada banyak rahasia yang bisa kamu cari dengan mengeksplor mapnya secara luas kecuali peti harta atau jenis musuh tertentu. Selain itu beberapa tempat dibuat dengan desain area lebih luas layaknya arena boss untuk kemudian digunakan saat mengikuti misi Hunt Board, jadi kami sarankan untuk mengikuti progress cerita sesuai rute untuk tidak membuang banyak waktu kecuali jika memang ingin menyapu bersih musuh dalam satu map.
Masih berbicara soal eksplorasi dunianya, kami sedikit menyayangkan kalau ternyata tidak ada banyak kota besar yang bisa kamu eksplor di dalam game ini. Kebanyakan tempat yang dihuni penduduk hanyalah desa atau pemukiman kecil, sedangkan kota besar dari tiap negeri seperti Rosalith misalnya, hanya bisa kamu mainkan sebagai stage dengan desain linear di mana kotanya sendiri sudah berada dalam kekacauan tanpa adanya penduduk selain musuh / monster. Kami memang paham kalau merealisasikan beberapa kota besar yang bisa dieksplor penuh di gamenya mungkin terlalu ambisius, karena desa atau pemukiman kecil saja sudah diisi dengan lumayan banyak aktivitas, karakter ikonik, dan quest mengikuti periode waktu berbeda. Setidaknya beberapa stage yang mengambil latar di kota besar tersebut sudah didesain dengan cukup baik untuk memberimu gambaran akan suasananya, terutama di Crystalline Dominion.
Daripada hanya membawamu bergerak dari satu area ke yang lain tanpa henti, Final Fantasy XVI menyusun progressnya agar bisa memberimu waktu untuk singgah ke Hideaway atau markas utama yang dipimpin Cid. Dalam markas ini kamu bisa berinteraksi dengan beberapa karakter pendukung yang akan jadi bagian dari keluarga Clive seperti si nenek merchant Charon, Blackthorne si pandai besi, Tarja sang dokter, hingga Loresman Harpocrates yang memberi akses ke Thousand Tomes yang berisi segala informasi lengkap mengenai karakter, lokasi, event bersejarah, dan bestiary gamenya. Jika masih kurang, ada juga Arete Stone yang memberimu akses ke mode training khusus di Hall of Virtue, Arcade Mode jika ingin mengulang beberapa stage utama dengan pertarungan boss epik di akhir, hingga Stage Replay yang lumayan mirip dengan Arcade Mode kecuali dengan cakupan lebih luas bagi yang ingin menonton cutscene lama atau sekedar grinding.
Selebihnya masih ada beragam fitur lain yang bisa kamu akses setelah mencapai progress lebih jauh. Beberapa di antaranya seperti Hunt Board bagi yang ingin menjalani misi perburuan khusus, Patron’s Whisper untuk mengumpulkan reward berdasar Renown (semacam sistem reputasi), dan State of the Realm bagi yang ingin melihat rangkuman progress cerita Final Fantasy XVI dengan presentasi layaknya peta perang. Sebagai tambahan pastinya kamu juga bisa menjalani beragam side quest, dan meski dari segi gameplay sebagian besarnya tidak begitu menarik, kamu tetap bisa mengumpulkan Renown serta mendapat cerita sampingan untuk mempelajari lebih dalam sejarah dibalik Valisthea serta latar belakang karakter pendukung. Gamenya kebetulan ikut menandai sebagian side quest dengan simbol “+” seperti di Final Fantasy XIV yang selalu memberi akses ke reward dan fitur paling berguna, jadi sifatnya memang wajib untuk kamu selesaikan.
Performa di PlayStation 5
Selanjutnya kami ingin membahas performa gamenya di PlayStation 5 dan untuk yang satu ini belum bisa dibilang sempurna. Bergantung dari preferensi pribadi, kamu bisa memainkan gamenya di mode Graphics untuk kualitas grafis lebih baik di 4K dengan batasan 30FPS, atau mode Performance dengan grafis yang sedikit diturunkan demi bisa mencapai 60FPS. Kami lebih banyak memainkan gamenya di mode Graphics dan masih mendapati adanya penurunan FPS atau stutter di beberapa area, tapi untungnya ini hampir tidak pernah berefek saat berada dalam combat meski dengan sekian banyak musuh dan efek partikel yang memenuhi layar. Sedangkan saat berada dalam mode Performance, kamu bisa merasakan FPS yang jauh lebih stabil saat berada dalam combat, tapi saat eksplorasi terkadang ada penurunan yang cukup terasa.
Mengesampingkan peformanya yang belum 100% stabil tersebut, penurunan FPS maupun stutter tersebut tidak begitu parah apalagi sampai mengganggu pengalaman bermain kami, jadi bisa saja masalahnya bisa diperbaiki lewat Patch Day 1 yang sudah dijanjikan pihak developer atau update lanjutan jika memang perlu. Sebagai game eksklusif PlayStation 5 tentunya kamu bisa mengharapkan pemanfaatan fitur Haptic Feedback dan Adaptive Trigger, tapi untuk yang satu ini berujung kurang dimanfaatkan. Kamu hanya bisa merasakan Adaptive Trigger saat membuka semacam gerbang besar dan sensasinya sendiri kurang begitu terasa, sedangkan Haptic Feedback setidaknya sedikit lebih baik dalam memberi kesan imersif saat adanya beberapa event khusus yang terjadi di cutscene cerita. Kami kebetulan juga memainkan gamenya dengan headset Pulse 3D demi merasakan fitur 3D Audionya, hanya saja lagi-lagi kami belum bisa merasakan sensasi yang begitu berbeda kecuali saat berada dalam pertarungan Eikon.
Sudah jadi tradisi kalau di era sekarang ada semakin banyak game yang membawa fitur Photo Mode, apalagi untuk judul yang resmi dirilis untuk PlayStation 5. Final Fantasy XVI sudah memfasilitasinya dan menurut kami fitur ini masih terasa nanggung. Pengaturannya benar-benar sangat dilimitasi dan bahkan tidak ada opsi untuk mengganti filter gambar, jadi kamu hanya berakhir mengapresiasi keindahan gamenya lewat sudut pandang kamera yang bisa diatur dalam ruang yang masih sedikit terbatas. Meski begitu, kamu bisa mengakses fiturnya kapan saja selama sesi gameplay, dan kami dibuat cukup takjub dengan detail yang terlihat dari sekian banyak efek partikel saat berada di tengah combat hingga ke kualitas model karakternya saat di zoom maksimal.
Kesimpulan
Sebagai fans yang masih menaruh harapan besar akan kebangkitan sejati franchisenya, kami memang punya ekspektasi kalau Creative Business Unit III bisa menjawab tantangan ini, apalagi setelah merasakan sendiri kualitas produk mereka lewat Final Fantasy XIV yang menyuguhkan salah satu cerita terbaik dan paling ambisius di sepanjang serinya. Meski berujung harus mengambil rute yang tidak begitu disukai beberapa fans lama yang masih mengharapkan kembalinya gameplay turn-based, pada akhirnya Final Fantasy XVI justru berakhir membawa combat action murni terbaik dan paling seru di serinya sejauh ini. Kami bahkan tidak keberatan jika seri mainline selanjutnya akan tetap mempertahankan pondasi baru ini untuk kemudian lebih dieksplor lebih dalam. Semua itu belum termasuk dengan ceritanya yang begitu menggugah, dipenuhi karakter memorable, dan tidak lepas dari momen epik yang terutama bersumber di pertarungan antar Eikon.
Kami jujur tidak menemui banyak masalah serius karena Final Fantasy XVI sudah memenuhi apa yang kami harapkan. Tidak bisa dibilang sebagai kekurangan serius sebenarnya, tapi pengalaman bermain kami mungkin akan jauh lebih baik seandainya playthrough pertama bisa dibuat lebih menantang, karena saat bermain di mode Action kami hanya sempat sekarat satu kali saja dari awal hingga akhir permainan saat menjajal suatu mode khusus. Selebihnya mungkin hanya beberapa nitpick kecil yang tidak begitu mengganggu pengalaman berman pribadi seperti desain map Rosaria tadi hingga performa yang seharusnya bisa lebih stabil terutama di mode Performance.
Final Fantasy XVI sudah mulai dirilis pada 22 Juni untuk PlayStation 5 dengan eksklusivitas yang bertahan selama enam bulan. Selebihnya untuk segala perkembangan terupdate mengenai gamenya sendiri bisa langsung kamu cek pada website resminya.
Gamenya ini kami review di PlayStation 5 dengan review code yang disediadakan oleh pihak Sony Interactive Entertainment Asia.
Pastikan untuk mengikuti perkembangan berita game lainnya di Gamerwk.
@gamerwk_id
The Review
Final Fantasy XVI
PROS
- Cerita emosional yang begitu menggugah
- Penuh karakter memorable dengan akting menjiwai
- Aspek world building yang lumayan diperdalam
- Seleksi soundtrack berkualitas
- Combat action terbaik dan paling seru di serinya
- Berlimpah konten dan sangat replayable
CONS
- Tingkat kesulitan playthrough pertama yang terlalu mudah
- Mode Performance yang masih belum sepenuhnya stabil (sebelum Patch Day 1)
Discussion about this post