Dalam rangkaian tur dunia Death Stranding 2, Hideo Kojima dan Yoji Shinkawa mampir ke Taipei dan duduk bersama beberapa media Asia, termasuk dari Malaysia, Singapura, dan Taiwan. Dari sesi gabungan ini, terungkap banyak cerita menarik soal proses kreatif di balik Death Stranding 2, mulai dari filosofi desain hingga momen pribadi yang membentuk arah narasi game-nya.
Kami mendapatkan kesempatan menghadiri sesi tanya jawab Hideo Kojima dan Yoji Shinkawa saat ajang Death Stranding 2 World Tour tersebut. Kojima menjelaskan bahwa Death Stranding 2 masih membawa tema besar yang sama seperti game pertamanya: tentang siklus kehidupan, koneksi antar manusia, dan bagaimana kita terus menerus mewariskan sesuatu ke generasi berikutnya.
Buat Kojima, kehidupan itu seperti semesta—berputar dan terus berkembang, dari kekosongan menuju sesuatu yang bermakna. Game ini bukan hanya lanjutan dari cerita Sam Porter Bridges, tapi juga ekspresi personal Kojima tentang harapan dan ketakutan terhadap masa depan umat manusia.
Desain Visual dan Kehadiran Musuh yang Mencekam
Salah satu elemen paling mencolok dalam Death Stranding 2 adalah kehadiran Ghost Mechs, sosok musuh dengan tampilan merah mencolok yang seolah membawa nuansa ritual atau religius. Yoji Shinkawa, sang desainer visual, menjelaskan bahwa ia mengawali desain dengan bayangan “peti mati besar”, sebelum kemudian dikembangkan lebih lanjut bersama Kojima agar terlihat hidup dalam game. Menariknya, kepala dari salah satu makhluk raksasa BT justru terinspirasi dari desain ikonik H.R. Giger di Alien—membuktikan bahwa referensi Shinkawa sangat beragam dan personal.
Shinkawa dan Kojima juga sudah bekerja bersama sejak era Policenauts, dan ternyata dinamika mereka tidak banyak berubah. Meski teknologi dan skala proyek makin kompleks, proses kreatif mereka tetap saling melengkapi. Dari sekadar panggilan jam lima sore di tahun 90-an sampai model 3D Metal Gear yang dibuat dari rumah, hubungan mereka sudah seperti simbiosis dalam dunia game development.
Ketika Sunyi Menjadi Inspirasi
Kojima mengungkap bahwa proses pembuatan Death Stranding sangat dipengaruhi oleh masa pandemi. Ia sendiri sempat merasa kesepian karena kantor kosong dan sebagian besar staf bekerja dari rumah. Saat itulah, kebiasaannya berjalan kaki di malam hari mulai memberi bentuk pada dunia Death Stranding. Sepi, sunyi, dan terisolasi—semua nuansa itu terekam kuat dalam pengalaman Sam saat menjelajahi dunia yang rusak. Kojima menyebut masa-masa itu sebagai momen pembentukan visual dan emosi game, bahkan sebelum gameplay utamanya terbentuk.
Bagi banyak pemain, Death Stranding terasa seperti terapi berjalan kaki—sebuah bentuk pelarian dari dunia nyata yang kacau. Kojima pun tidak menyangkal bahwa game-nya punya efek serupa baginya. Meski ia tidak mencari kenyamanan secara langsung dari proses develop, koneksi emosional itu tetap tumbuh seiring waktu, terutama ketika membaca pesan dari pemain yang merasa terbantu secara mental saat memainkan game-nya di masa pandemi.
Musik, Mekanik, dan Inovasi Gila
Salah satu ciri khas Death Stranding adalah bagaimana musik muncul secara dinamis di titik-titik tertentu, seolah mengiringi perjalanan pemain dengan sentuhan emosional yang pas. Kojima bilang, titik-titik itu dipilih secara hati-hati, biasanya di tempat dengan pemandangan dramatis atau suasana yang menyentuh.
Musik hanya muncul saat keadaan aman, sehingga momen tersebut terasa benar-benar sebagai “hadiah” bagi pemain. Kojima sendiri turun langsung dalam proses penyempurnaan, termasuk pengaturan kamera untuk memaksimalkan dampaknya.
Dalam hal mekanik, Kojima mengaku paling bangga dengan perangkat baru bernama Ring Terminal, yang menggantikan handcuff dari game pertama. Kali ini, Sam sudah bukan bagian dari Bridges lagi, jadi perlu simbol baru—dan ring di jempol dengan gestur thumbs-up dianggap pas dan unik.
Shinkawa juga menambahkan bahwa ia sangat menikmati merancang kendaraan seperti pick-up roader dan tri-cruiser bike, lengkap dengan interaksi analog yang memberi rasa lebih “hidup” meski tak realistis. Baginya, hal-hal seperti itu membuat pengalaman bermain jadi jauh lebih imersif.
Dari Pengakuan Pribadi ke Filosofi Kreatif
Menariknya, baik Kojima maupun Shinkawa sama-sama punya cara unik untuk menghadapi tekanan dari industri game yang intens. Kojima melihat tekanan sebagai bahan bakar kreatif—ia tidak berusaha menghindar, tapi justru merangkulnya. Salah satu caranya mengisi ulang semangat adalah dengan menonton film-film hebat dari seluruh dunia. Sedangkan Shinkawa merasa paling tenang saat menyetir pulang, dan mengaku kalau ia sebenarnya menikmati proses pembuatan game, jadi nyaris tidak merasa tertekan sama sekali.
Seiring bertambahnya usia dan pengalaman, pandangan mereka juga ikut berubah. Jika dulu Kojima membuat game untuk memuaskan dirinya sendiri, kini ia merasa termotivasi oleh dukungan pemain dari seluruh dunia. Ia ingin menciptakan sesuatu yang bermakna bagi mereka. Sementara Shinkawa, setelah memiliki anak, menemukan inspirasi dalam melihat generasi baru seniman dan kreator tumbuh di industri ini.
Harapan untuk Pemain
Menutup sesi, Kojima menyampaikan rasa syukurnya karena Death Stranding 2 bisa lahir dan diterima dengan baik. Ia senang melihat bagaimana pemain menikmati game dengan berbagai cara—apakah lewat aksi, stealth, atau sekadar menyerap ceritanya. Ia berharap Death Stranding 2 bisa menjadi medium untuk menyambung kembali koneksi yang sempat putus selama masa pandemi. Shinkawa sendiri mengaku sangat terhubung secara emosional dengan karakter Lou, dan berharap pemain bisa menemukan makna personal dalam setiap perjalanan yang mereka tempuh di dalam game.
Buat Kojima dan timnya, Death Stranding 2 bukan cuma game tentang mengantarkan barang—tapi juga tentang mengantarkan emosi, harapan, dan refleksi tentang dunia yang terus berubah.
Death Stranding 2: On the Beach sudah resmi dirilis dan bisa kamu mainkan di PS5. Kamu bisa baca review selengkapnya dari kami melalui artikel DI SINI.
Pastikan untuk mengikuti perkembangan berita game lainnya di Gamerwk.
@gamerwk_id
Discussion about this post