Melihat maraknya tren game mobile besutan developer Jepang yang berakhir tutup usia dalam waktu singkat, website Yaraon telah mencari alasan pastinya lewat wawancara dengan sosiolog di bidang hiburan bernama Atsuo Nakayama. Berdasarkan pengamatannya, dia melihat kalau pasar game mobile di Jepang sudah mulai terancam oleh China bahkan hingga Korea Selatan yang tumbuh lebih baik selama beberapa tahun terakhir.
Jadi terlepas dari besarnya kontribusi pendapatan dari wilayahnya, banyak developer tetap merasakan adanya tekanan untuk bersaing. Nakayama ikut menyebut kalau rasio investasi ke game di Jepang telah menurun sebanyak 60 – 70%, ditambah lagi dari tekanan persaingan tadi yang semakin dominan dari perusahaan game besar China seperti Tencent dan HoYoverse. Selain ke pendapatan hingga usia game, ini juga ikut mempengaruhi jumlah game baru yang dirilis serta biaya produksi yang terus naik, sehingga ada kebutuhan pendapatan untuk investasi pengembangan yang lebih tinggi.
Dampaknya bahkan ikut dirasakan oleh perusahaan game besar dengan ribuan karyawan, karena itulah reputasi dari tim pengembang tidak bisa selalu menjadi jaminan akan usia game. Nyatanya beberapa developer yang lebih kecil punya kecenderungan untuk mendukung gamenya dengan lebih serius, karena mereka tidak selalu memiliki budget dan asset yang memadai untuk beralih ke proyek baru. Lain halnya dengan beberapa developer terbesar di China yang tidak ragu memanfaatkan budget dan keuntungan besarnya untuk melakukan ekspansi, sehingga jumlah game yang lebih populer di pasaran dari China perlahan namun pasti telah merebut spotlight utama.
Nakayama menambahkan kalau realitanya hanya ada sekitar 3,6% dari game mobile di pasaran yang bisa bertahan selama 5 tahun atau lebih, dan persentase yang sudah sangat rendah tersebut semakin menurun. Menjaga operasional dan dukungan aktif ke sebuah game mobile juga selalu membutuhkan biaya tinggi, jadi soal apakah suatu developer bisa mempertahankannya atau tidak akan sangat bergantung pada kesuksesan gamenya di pasaran. Sebagian developer mendapat keuntungan terbanyak dari user yang rela mengeluarkan uang sampai 10 ribu yen per bulan, sehingga penting untuk mempertahankan minat mereka dengan lebih banyak konten menarik yang terus memotivasi pemain agar tidak berhenti memainkan gamenya.
Setidaknya itulah yang didapat dari pengamatan Nakayama selama beberapa tahun terakhir, dan realitanya sendiri memang tidak bisa disangkal, apalagi jika melihat semakin banyaknya game mobile dari Jepang yang cenderung tutup dalam waktu singkat. Beda cerita dengan game mobile besutan developer China yang terus mendapat dukungan konsisten, seperti contohnya Girls’ Frontline dari MICA Team yang meski kurang begitu menguntungkan, tapi gamenya terbukti masih sangat aktif didukung. Jelasnya sebagian besar game seperti ini kemungkinan pasti akan ditutup lebih awal jika dipegang oleh developer Jepang.
Pastikan untuk mengikuti perkembangan berita game lainnya di Gamerwk.
@gamerwk_id
Discussion about this post