Pernahkah kamu merasa heran saat melihat suatu game yang kurang spesial menurut pendapat pribadi bisa disukai banyak orang? Jika iya, maka kamu tergolong dalam kelompok orang normal, karena memiliki pendapat berkebalikan dengan individu lain adalah sesuatu yang natural. Apa yang membuatnya jadi tidak normal adalah saat kamu berusaha mendorong opini tanpa mempertimbangkan fakta kalau setiap orang punya selera berbeda. Setidaknya inilah yang sering penulis temui dalam debat soal game berbasis turn-based dan bagaimana banyak gamer di wilayah Indonesia tidak begitu menyukainya.
Penulis tidak jarang melihat postingan di sosial media yang mempertanyakan daya tarik dari game turn-based seperti “Apa serunya sih gelut pake giliran2?”, “Kok ada ya orang yg suka game model gini?”, “Game turn-based boring abis kok masih ada aja yg suka?” dan masih banyak contoh lain. Tidak jarang juga penulis menemui pendapat seperti ini dalam circle komunitas sendiri, jadi memang tidak mudah untuk merekomendasikan sebuah game turn-based bahkan ke teman dekat yang mengakui kalau game dengan sistem ini terasa membosankan.

Lalu apakah game turn-based memang membosankan dan tidak pantas untuk disukai? Jawabannya tentu saja adalah tidak, karena nyatanya konsep gameplay seperti ini masih sangat diminati banyak kalangan pemain, khususnya dari mereka yang datang dari komunitas JRPG modern maupun klasik. Kita tidak hanya berbicara soal wilayah Indonesia saja, karena nyatanya game berbasis turn-based juga punya reputasi yang beragam di semua wilayah lain. Jepang mungkin adalah satu-satunya negara yang paling aman untuk merilis game seperti ini, karena kebanyakan pemain di sana sudah sering terekspos dengan sistemnya yang juga bisa ditemui di sekian banyak game mobile gacha.
Penulis juga tidak jarang melihat debat di komunitas barat yang mengkritik soal game berbasis turn-based, seperti bagaimana sistemnya dianggap usang, terlalu lambat, dan tidak seseru real-time action yang dirasa lebih melibatkan pemain secara imersif ke dalam gameplay. Dari sinilah penulis mendapat impresi yang lebih jelas, karena gamer-gamer di wilayah barat ini memberikan pendapat pribadi mereka secara terbuka daripada sekedar mengejek, sesuatu yang sayangnya masih sering ditemui di Indonesia (setidaknya dari pandangan pribadi).

Satu faktor paling besar yang membuat game turn-based tidak menarik bagi banyak orang adalah karena gamenya memang tidak menarik untuk ditonton. Sebagai contoh penulis saat masa kecil dulu sempat dibelikan konsol PS1 dan seri original Final Fantasy adalah game JRPG pertama yang pernah dimainkan. Meski terkesan standar terutama pada kualitas grafisnya, penulis tetap dibuat terpanah dengan gameplay yang ditawarkan karena terasa begitu unik pada saat itu apalagi dengan iringan soundtrack ikonik di sepanjang permainan. Memainkannya secara langsung memang seru, tapi pada saat itu kakak penulis sempat ikut menonton dan malah mengejek kenapa memainkan game aneh dan kurang menarik seperti itu. Inilah yang kemudian berujung pada faktor utama tadi, yaitu bagaimana game turn-based “tidak menarik atau seru untuk ditonton”.
Lalu kenapa gamenya tidak menarik untuk ditonton? Ini kemudian berujung pada alasan kedua yaitu tempo permainan yang terlalu lambat. Berbeda dari game action yang mana kamu bisa mengeksekusi runtutan skill dan manuver secara real-time, game turn-based diatur dalam sistem giliran yang mana kamu hanya bisa mengeksekusi perintah khusus sebelum alur gameplay akhirnya mulai bergerak. Bisa dibilang game-game seperti ini tidak berbeda dengan catur atau board game lain, karena pemain dituntut untuk lebih strategis dalam mengambil suatu langkah yang bisa berujung pada kemenangan atau kekalahan.

Tidak jarang pemain akan menghabiskan waktu lebih lama hanya untuk mengeksekusi satu command, yang otomatis membuat tempo gameplay menjadi lebih lambat dan terkesan tidak seru. Bayangkan saja, kamu bisa menyapu bersih sebuah camp musuh dalam sebuah game action yang dipenuhi momen epik, tapi di saat bersamaan dalam sebuah game turn-based mungkin kamu baru menyelesaikan dua giliran hanya untuk buff karakter. Karena alasan ini juga kenapa kebanyakan versi remaster dari JRPG klasik ikut menyediakan opsi Turbo Mode untuk mempercepat tempo gameplay. Secara kasar perbandingan ini memang lebih menitikberatkan game action sebagai yang lebih seru, tapi perlu diingat kembali kalau perbandingan antar kedua sistem gameplay tersebut ada pada tempo permainan. Game action menuntut alur gameplay yang lebih cepat dan selalu bergerak setiap saat, sedangkan game turn-based sengaja dibuat lebih lambat demi mendorong pemain untuk bermain secara lebih strategis.
Anggapan kalau game turn-based terasa usang juga tidak salah, karena sistem gameplay ini memang sudah mengakar jauh dari era dulu saat board game dirasa lebih mendominasi. Alasan lain juga ada dari bagaimana developer lebih mudah meracik sistem turn-based dengan sistematis, sehingga mereka tidak perlu pusing memikirkan kualitas animasi, desain level panjang, runtutan kombo, dan lain sebagainya yang mungkin di era dulu lebih sulit untuk direalisasikan. Tentu saja seiring dengan majunya perkembangan teknologi, sudah ada lebih banyak game action yang bisa dibuat tanpa limitasi dan dari sinilah minat akan game action semakin berkembang pesat hingga menjadi genre yang lebih mainstream.

Fakta akan minat yang lebih tinggi akan game action tidak bisa disangkal, karena sebagian developer yang sempat meracik game berbasis turn-based sudah mulai beralih ke game action juga. Contohnya seperti bagaimana seri utama Final Fantasy kini semakin condong ke action RPG, atau kembalinya franchise lama seperti Sakura Wars yang pada 2019 lalu mendapat reboot jadi game action tanpa adanya elemen RPG sama sekali. Keputusan untuk meninggalkan sistem turn-based juga bisa dimengerti, karena franchise yang sudah lama tertinggal zaman pasti membutuhkan perubahan besar untuk diterima gamer di era sekarang, jadi memilih konsep paling mainstream adalah strategi paling aman.
Untungnya dominasi game action tidak semata membuat game turn-based jadi terlupakan begitu saja, karena nyatanya masih ada minat tinggi untuknya. Satu lagi contohnya mungkin bisa dilihat dari Persona 5, yang berhasil membuktikan kalau game turn-based bisa menawarkan pengalaman bermain seru dan kaya dengan variasi. Bisa melihatnya diterima oleh banyak gamer di seluruh dunia hingga menjadikan Persona sebagai franchise mainstream adalah suatu pencapaian tersendiri. Selain Persona, ada juga Pokemon yang selalu meraih keuntungan bombastis di tiap gamenya meski mengusung gameplay tradisional serupa.

Jadi kembali lagi pada inti dari diskusi kali ini mengenai kenapa banyak gamer Indonesia tidak suka dengan game turn-based, semuanya tentu akan kembali berujung pada selera masing-masing. Sistemnya memang terkesan lebih sering terkena bully di sini, tapi faktanya di negera lain game turn-based juga punya reputasi yang cukup beragam, hanya saja perbedaannya mereka lebih terbuka dalam memberi pendapat berarti daripada sekedar mengkritik berdasar pada impresi kasaran saja. Setidaknya inilah impresi yang penulis dapat, karena jawaban yang paling pasti hanya bisa dibuktikan lewat survei atau semacamnya.
Penulis hanya ingin menutup artikel ini dengan mengatakan kalau baik itu game turn-based maupun action sama-sama memiliki konsep pembangunnya sendiri. Terlepas dari mana yang paling diminati, pasti selalu ada kalangan pemain yang lebih menyukai satu di antara yang lain, baik itu tempo permainan cepat maupun lambat, lebih seru untuk ditonton atau tidaknya, hingga mana yang paling memberi kepuasan lebih. Tapi satu yang paling penting dari semuanya adalah coba untuk belajar menghormati selera orang lain, dan jika kamu memang berakhir penasaran mengenai daya tarik dari suatu genre misalnya, maka tidak ada salahnya untuk mencoba game yang datang dari genre tersebut karena siapa tahu saja, kamu justru akan berakhir sebagai fans selanjutnya.
Pastikan untuk mengikuti perkembangan berita game lainnya di Gamerwk.
@gamerwk_id
Discussion about this post