Setiap gamer apalagi di masa dewasanya pasti memiliki selera game yang lebih terfokus pada beberapa genre spesifik, atau bisa dibilang cepat berubah. Contohnya kami sendiri yang memang sangat menyukai genre JRPG hingga petualangan, tapi tidak suka dengan game strategi dan puzzle, meskipun saat kecil dulu masih sangat menyukainya. Terlepas dari preferensi tersebut, nyatanya masih ada banyak game yang meninggalkan kesan kuat bagi kami meskipun itu datang dari genre yang tidak begitu disukai. Satu judul terbaik yang dari pengalaman kami cocok dengan skenario ini adalah God Hand.
Gamer manapun yang masa kecilnya diisi dengan kenangan dari era PlayStation 2 pastinya sudah tidak asing lagi dengan nama tersebut. Alasannya sangat sederhana, karena God Hand adalah salah satu game PS2 terpopuler yang sangat ramai dimainkan di rental di berbagai wilayah Indonesia, meskipun ya popularitasnya tidak merata sampai di seluruh dunia. Dulunya kami menganggap kalau ini adalah game beat em’ up terkeren, dan sampai sekarang kami masih nyaman dengan pendapat tersebut.
God Hand bisa dibilang adalah game yang sangat spesial bagi kami, karena pengalaman bermain yang ditawarkannya benar-benar selalu memberikan ekstra tantangan dan keseruan maksimal yang jarang kami rasakan di game sejenisnya. Tentu saja faktor tingkat kesulitan bukan lagi sesuatu yang langka, karena kebanyakan game beat em’ up memang bisa sangat menantang bergantung dari cara kamu bermain atau tingkat kesulitan yang dipilih. TAPI, untuk urusan tingkat keseruannya inilah yang bagi kami God Hand adalah rajanya. Sebelum melanjutkan membaca artikel ini, ada satu video opini dari YouTuber Austin Evans yang memberikan banyak insight yang searah dengan pendapat kami akan gamenya.
Jadi kalau boleh bercerita sedikit, selera kami pada game yang memiliki sistem pertempuran dari basis genre apapun terasa semakin spesifik. Baik itu JRPG atau game hack and slash yang ada di pasaran, kami selalu merasa kalau sistem pertarungannya kurang memiliki semacam variasi atau keunikan kuat yang membuatnya terasa berbeda saat dimainkan. Ini terutama bisa dilihat dari game yang karakter utamanya selalu menggunakan senjata seperti pedang atau senapan. Memainkan game-game dengan sistem pertempuran dan opsi persenjataan yang sama terus seperti ini pastinya akan membuat bosan bukan?
Maka dari sanalah kami mulai memiliki apresiasi yang besar pada game dengan opsi hand-to-hand combat atau gameplay yang mengandalkan raw power. Contohnya seperti gambar profil penulis yang mungkin sebagian dari kamu kenal adalah karakter bernama Jude Mathis, yaitu protagonis utama dari game Tales of Xillia yang mengandalkan gaya bertarung dengan tangan kosong. Yup, kecintaan kami akan game hingga karakter yang bisa menawarkan keseruan dari gameplay tangan kosong ini membuat kami kembali teringat dengan God Hand.
Kebetulan belum lama ini kami kembali memainkan God Hand (lewat emulator, no choice) dan pengalaman bermain yang ditawarkan malah jauh lebih seru dari yang kami ingat. Gamenya memang sangat sulit dan membuat kami dulunya sangat kesulitan untuk meneruskan progress, seperti di tantangan boss melawan mafia gendut bernama Elvis yang rasanya sangat mustahil untuk diselesaikan. Tapi beranjak dewasa bukan hanya selera game saja yang berubah, skill bermain juga ikut meningkat jauh sehingga kami bisa menyelesaikan tiap level dengan mudah.
Ada juga mekanisme yang baru pertama kali kamu ketahui setelah memainkan gamenya kembali, yaitu mekanisme menghindari serangan dengan flick analog ke berbagai arah yang membuat karaktermu dapat bergerak lihai layaknya ahli bela diri. Ya kami bisa bayangkan kalau pasti banyak dari kamu sudah tahu dengan mekanisme ini, tapi setelah mencobanya untuk pertama kali kami benar-benar jadi ketagihan untuk terus menggunakannya, karena selain keren sistem dodging ini membuat setiap pertarungan khususnya 1v1 terasa jauh lebih mudah.
Meskipun menawarkn game beat em’ up action yang keren dengan tambahan unsur komedi, game ini tidak sepenuhnya sempurna. Komplain utama kami terletak pada jalan cerita sampah dengan karakter yang meskipun keren dari segi desain, tapi tidak memiliki pembawaan memorable. Belum lagi dari kualitas voice acting yang sangat buruk, kecuali di versi Jepang yang setidaknya masih enak didengar. Tapi pada akhirnya God Hand adalah game yang menaruh fokus pada gameplaynya, jadi kekurangan tersebut tidak sampai membuat kami benci dengan gamenya. Kalau digambarkan God Hand adalah buah segar dan manis yang punya bagian busuk, tapi kamu setidaknya tetap bisa memakan buah tersebut dan menyisihkan bagian busuknya.
Perilisan God Hand sempat memicu kontroversi yang bersumber dari review IGN yang memberikan game ini skor 3 dari 10. Karena pengaruh review game di masa dulu jauh lebih tinggi dibanding sekarang, banyak gamer akhirnya terpengaruh dengan review buruk tersebut sehingga potensi kesuksesan God Hand menjadi jatuh dan bahkan menjadi salah satu faktor dari penutupan developer Clover Studio di 2007, tepat satu tahun sejak gamenya rilis. Setidaknya ada seorang jurnalis baru IGN bernama Mitchell Saltzman yang kemudian membuat video pembelaan akan God Hand, yang baginya merupakan salah satu game terfavorit sepanjang masa.
Kami memang memiliki keinginan terpendam untuk melihat God Hand dapat kembali bangkit di masa mendatang dalam versi remaster, remake atau sekuel baru. Hanya saja ini bukanlah sesuatu yang realistis untuk diharapkan, apalagi dengan penutupan developer originalnya serta hak IP yang tidak jelas sekarang dipegang oleh siapa.
Jadi bagaimana pendapat kamu dengan God Hand? apakah ini adalah game yang juga meninggalkan kesan kuat saat era PS2 dulu?
Pastikan untuk mengikuti perkembangan berita game lainnya di Gamerwk.
@gamerwk_id
Discussion about this post