Mengadaptasi sebuah karya dalam format berbeda adalah tugas yang tidak pernah lepas dari kata menantang. Bahkan jika kamu pikir sebentar saja, ada begitu banyak konsumsi hiburan yang merupakan adaptasi dari karya berbeda. Sebagian ada yang terbukti berhasil dan membawa kualitas lebih baik, tapi tidak jarang juga yang malah kurang tepat sasaran, salah satunya seperti game adaptasi anime yang akan jadi fokus diskusi kami pada artikel berikut.
Tidak berbeda jauh dengan anime yang juga mengadaptasi game, kedua format adaptasi yang saling bersilangan ini berpusat pada satu permasalahan utama, yaitu cara paling cocok untuk menikmatinya. Contoh mudahnya saja adalah Persona 5, yang mana ini adalah game JRPG dengan pendekatan konsep unik dan konten melimpah. Ini semua bahkan belum ditambah dengan gameplay turn-based seru, art style ikonik, hingga jalan cerita dan karakter memorable. Menikmatinya sebagai media game terasa begitu luar biasa, sehingga ada ekspektasi tinggi kalau adaptasi animenya dapat memberi kepuasan sebanding atau setidaknya punya cerita yang dikemas dengan baik dalam format 12 – 24 episode.

Bermodalkan ekspektasi tersebut, banyak anime adaptasi game berakhir sulit menjawab ekspektasi kecuali ada dorongan budget lebih, sesuatu yang sayangnya jarang terlihat dibanding adaptasi dari novel atau manga. Hal yang sama juga berlaku untuk game adaptasi anime sendiri, karena banyak fans lebih mendapat kepuasan dengan menonton animenya secara langsung yang sudah mengemas jalan cerita serapi mungkin. Kami bahkan merasa kalau format adaptasi anime ke game justru lebih sulit, karena kebanyakan developer biasanya harus menyesuaikan momentum saat anime tersebut sedang hype sehingga jalannya produksi jadi cenderung lebih singkat. Ini kemudian berujung pada kualitas game yang seadanya, apalagi jika membawa konten cerita sama sehingga kurang relevan bagi fans yang mungkin sudah menonton animenya dan ingin sesuatu yang baru.
Production value memegang peranan besar dalam mendorong kualitas dan pancingan minat akan game adaptasi anime, tapi yang paling terpenting dari semua tetap ada di pemasarannya sendiri. Sebagai contoh game fighting seperti Jump Force dan Dragon Ball FighterZ sama-sama diumumkan lewat ajang E3 yang tentu sukses menarik minat banyak gamer, tapi di akhir hanya Dragon Ball FighterZ saja yang masih bertahan paling relevan. Alasannya sangat sederhana, karena game tersebut memang dibuat dengan kualitas jempolan dibanding Jump Force yang penuh kekurangan hingga berakhir kehilangan basis pemain dalam waktu singkat.

Karena itulah memilih developer yang paling cocok untuk mengadaptasi sebuah anime ke game harus menjadi prioritas bagi publisher manapun, karena mereka tetap membawa nama baik dari IP tersebut dengan harapan bisa menjawab ekspektasi fans. CyberConnect2 bisa dibilang adalah contoh terbaik dalam kasus ini, karena mereka memang terbukti adalah developer kompeten yang sudah berpengalaman membuat game adaptasi anime berkualitas seperti Naruto Ultimate Ninja Storm hingga kemudian dilanjutkan dengan Demon Slayer: Hinokami Chronicles. Terlepas dari seberapa positif review yang didapat game-game tersebut, tidak bisa disangkal kalau kualitasnya masih mengagumkan dan secara finansial juga cukup sukses bagi pihak publisher maupun developernya sendiri.
Pemilihan developer yang cocok kemudian juga berhubungan dengan kemampuan mereka. Misalnya seperti Arc System Works yang punya pengalaman panjang meracik game fighting, maka menyuruh mereka membuat game serupa yang mengadaptasi anime shonen action seperti Dragon Ball tentu akan dirasa sangat cocok. Lain halnya dengan Spike Chunsoft lewat Jump Force, yang mana mereka kurang punya pengalaman dalam genre fighting dan lebih dikenal sebagai pengembang game story-based seperti franchise Danganronpa, Zero Escape, hingga Ai Somnium. Mencoba sesuatu yang baru memang penting dan bisa dimengerti, tapi keputusan terbaik harus selalu mengarah pada developer mana yang dirasa paling kompeten dan punya portofolio solid.

Pada akhirnya semua ini tidak berbeda jauh dengan pembahasan kami sebelumnya mengenai “alasan kenapa anime adaptasi game jarang berakhir sukses”, karena faktor yang paling menentukan memang ada di minat fans akan format mana yang dirasa paling cocok. Jika karyanya berasal dari game maka fans lebih suka menikmatinya sebagai game, begitu pula dengan karya anime yang lebih disukai sebagai tontonan atau mungkin bacaan (tergantung karyanya dan apakah kamu termasuk penggemar light novel atau manga). Kasus di mana sebuah adaptasi terasa lebih superior dibanding karya originalnya juga pastinya ada, hanya saja hingga sekarang kita masih belum menemukan formula serta konsistensi untuk selalu mencapai standar kualitas tersebut.
Lalu bagaimana menurut pendapat kamu mengenai topik ini? Apakah kamu punya sudut pandang berbeda yang dirasa penting juga? Jika iya, jangan sungkan untuk berikan pendapat kamu pada kolom komentar di bawah ini ya!
Pastikan untuk mengikuti perkembangan berita game lainnya di Gamerwk.
@gamerwk_id
Discussion about this post